Rabu, 28 April 2010

KHASIAT TANAMAN JANGU (ACORUS CALAMUS)



ACORUS CALAMUS L.Botani Sinonim : Acorus terreestris Spreng.Klasifikasi Divisi : SpermatophytaSub divisi : AngiospermaeKelas : MonocoiyledonaeBangsa : AralesSuku : AraceaeWarga : AcorusJenis : Acorus calamus L.Nama umum/dagang : DlingoNama daerah Sumatera : Jeurunger (Aceh) Jerango (Gayo) Jerango (Batak) Jarianggu (Minangkabau)Jawa : Daringo (Sunda) Dlingo {Jawa Tengah) Jharango (Madura)Bali : JanguNusa Tenggara : Kaliraga (Flores) Jeringo (Sasak)Sulawesi : Kareango (Makasar) Kalamunga (Minahasa) Areango (Bugis)Maluku : Ai wahu (Ambon) Bila (Buru)Deskripsi Habitus : Herba, (ahunan, tinggi + 75 cmBatang : Basah, pendek, membentuk rimpang, putifi kotor.Daun : Tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal memeluk batang, panjang ± 60 cm, lebar ± 5 cm, pertulangan sejajar, hijau.Bunga : Majemuk, bentuk bongkol, ujung meruncing, panjang 20-25 cm, di ketiak daun, tangkai sari panjang ± 2,75 mm, kepala sari panjang ± 2,75 mm, kepala sari panjang ± 0,5 mm, putik 1-1,5 mm, kepala putik meruncing, panjang ± 0,5 mm, mahkota bulat panjang, panjang 1-1,5 mm, puith.Akar : Serabut. coklat.Khasiat Rimpang Acorus calamus berkhasiat sebagai obat penenang, obat lambungdan obat limpa, di samping itu merupakan bahan baku kosmetika. Untuk obat penenang dipakai ± 3 gram rimpang Acorus calamus, dicucidan dipotong kecil-kecil kemudian direbus dengan 2 gela air selama 15menit. Hasil rebusan diminum sehari dua kali 1/2 gelas pagi dan sore.Kandungan kimia Rimpang dan daun acorus calamus mengandung saponin dan flavonoida,di samping rimpangnya mengandung minyak atsiri.



DLINGU ini adalah jenis tanaman yang mirip jenis rhizoma. DLINGUakan tumbuh lebih baik (dalam arti akarnya akan cepat besar) jikahidup di tanam yang terus menerus tergenang air.ayah saya dulu menanamnya di sawah pinggir sungai, jadi tidak adamasalah dengan pasokan air, aman dan selalu terendam ^_^DLINGU mempunyai bau khas yang segar. baunya unik dan saya suka.daun dlingu mirip seperti daun pandan, dengan tinggi sekitar 40-50cm dari atas prmukaan air. tumbuhan ini jika ditanam yang tampakdari atas hanya daunnya saja, sedangkan akarnya terendam air.akar utamanya besar dan panjang, mirip lengkuas (laos), tapi lebihempuk jika dibandingkan dengan kulit luar lengkuas. warnanya jugamirip. bedanya, jika akar lengkuas itu kecil2, maka akar utamaDLINGU berdiameter sekitar 2-3,5 cm. ada yang bercabang juga. akarutama dlingu juga panjang, bisa mencapai lebih dari 2 meter, tidakseperti lengkuas yang mungkin hanya sampai 16 cm.selain akar utama, ada juga akar kecil2 yang mungkin adalahakar 'sesungguhnya dari dlingu ini di sekitar akar utamanya.

Selasa, 27 April 2010

wanatani

http://www.koempoels.com/showthread.php?536-Wanatani

Wanatani atau agroforest adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Model-model wanatani bervariasi mulai dari wanatani sederhana berupa kombinasi penanaman sejenis pohon dengan satu-dua jenis komoditas pertanian, hingga ke wanatani kompleks yang memadukan pengelolaan banyak spesies pohon dengan aneka jenis tanaman pertanian, dan bahkan juga dengan ternak atau perikanan.Dalam bentuk yang dikenal umum, wanatani ini mencakup rupa-rupa kebun campuran, tegalan berpohon, ladang, lahan bera (belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di Jawa Barat, repong di Lampung Barat, parak di Sumatra Barat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (simpukng) di Kalimantan Timur, dan lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia.

ESENSI WANATANI

Perpaduan tanaman sengon dengan salak pondoh di lapisan bawahnya. Leksono, WonosoboAneka bentuk wanatani ini sebetulnya mencerminkan strategi pengelolaan sumberdaya oleh petani. Tidak seperti halnya perkebunan-perkebunan besar yang dikelola perusahaan, kebanyakan kebun atau hutan rakyat tidak dikelola hanya untuk menghasilkan satu komoditas atau produk. Petani umumnya mengharap kebun atau ladangnya dapat menghasilkan tanaman pangan utama (misalnya padi atau jagung), atau tanaman yang bernilai ekonomi tinggi (seperti kopi, cengkeh, karet dll.), ditambah dengan produk-produk lain yang sifatnya subsisten seperti kayu bakar, tanaman rempah dan obat, pakan ternak, aneka hasil lainnya.Variasi unsur-unsur dalam wanatani itu kurang lebih dapat disederhanakan, sbb.:* perpaduan antara tanaman keras (jangka panjang: pohon-pohonan) dengan tanaman semusim (pertanian jangka pendek)* perpaduan tanaman utama (sumber pangan, komoditas ekonomi) dengan tanaman sampingan* perpaduan tanaman penghasil dengan tanaman pendukung (misalnya kopi atau kakao, dengan pohon-pohon peneduhnya)* perpaduan tanaman dengan musim atau umur panen berbeda-beda: padi ladang, mentimun, kopi, damar matakucing, durian.* perpaduan pengelolaan pohon-pohonan dengan perikanan (tambak, balong, embung), dikenal juga dengan istilah silvofishery* perpaduan dengan pemeliharaan ternak (silvopasture) atau pemeliharaan lebah: hutan sebagai penghasil pakan ternak atau lebah, seperti di Sumbawa.


Wanatani sederhana

Campuran jati dengan tanaman semusim seperti ubi kayu dan lain-lain. Desa Kedungkeris, Nglipar, Gunung KidulSeperti yang dicerminkan oleh namanya, wanatani sederhana terdiri dari sejumlah kecil unsur penyusun sistem: satu atau dua jenis pohon bercampur dengan satu atau beberapa jenis tanaman pertanian.

Pola-pola sederhana ini kerap dipraktekkan petani untuk memaksimalkan hasil, terutama di wilayah-wilayah padat penduduk. Pohon-pohon turi, randu, atau jati kerap ditanam pada pematang atau sebagai pembatas petak-petak sawah atau tegalan, di mana tanaman semusim ditanam. Turi membantu menyuburkan tanah dan bunganya dimanfaatkan sebagai sayuran; randu menghasilkan buah kapuk; dan dari jati diharapkan kayunya yang mahal harganya. Bentuk lain adalah pertanaman jeruk atau mangga, yang ditanam pada gundukan-gundukan tanah di tengah sawah.

Pada sisi yang lain, pola yang mirip dimanfaatkan dalam membangun hutan. Pola tumpangsari dalam menanam hutan jati atau hutan pinus di Jawa, adalah satu bentuk wanatani sederhana. Dalam tumpangsari, petani pesanggem dibolehkan memelihara padi ladang, jagung, ketela pohon dan lain-lain di sela-sela larikan tanaman pokok kehutanan (jati, pinus, dll.) yang baru ditanam. Biasanya pada tahun ketiga atau keempat, setelah tanaman hutannya merimbun dan menaungi tanah, kontrak tumpangsari ini berakhir.Ilmu agroforestri klasik (classic agroforestry) banyak berkutat dengan model-model wanatani sederhana ini.


Wanatani kompleks

Wanatani durian. Desa Lolong, Karanganyar, PekalonganWanatani kompleks (complex agroforestry systems) atau wanatani sejati merupakan perpaduan rumit pelbagai unsur wanatani di atas, yang pada gilirannya juga memberikan aneka hasil atau manfaat pada rentang waktu dan interaksi yang tidak terbatas. Pada akhirnya, wanatani ini memiliki struktur dan dinamika ekosistem yang mirip dengan hutan alam, dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang relatif tinggi.Wanatani durian. Desa Lolong, Karanganyar, PekalonganWanatani kompleks merupakan perkembangan lanjut dari wanatani sederhana, meski kebanyakan pola wanatani sederhana yang telah mantap tidak selalu bertumbuh terus menjadi sistem yang lebih rumit. Selain ditentukan oleh kepadatan penduduk dan –sebagai konsekuensinya– keterbatasan lahan, tidak berkembangnya wanatani sederhana menjadi kompleks kemungkinan besar juga ditentukan oleh iklim dan kondisi tanah setempat. Budaya wanatani kompleks sejauh ini berkembang di daerah-daerah yang semula merupakan hutan hujan tropika yang memiliki struktur mirip.


Hampir selalu, wanatani kompleks berawal dari ladang yang diperkaya. Sistem perladangan biasanya dimulai dengan membuka hutan primer atau hutan sekunder, menebangi dan membakar kayu-kayunya, dan menanaminya dengan tanaman pangan atau sayur mayur selama satu atau dua daur. Setelah itu ladang diperkaya dengan tanaman keras seperti kopi atau kakao, atau rotan, yang hasilnya dapat dipanen antara tahun ke-5 sampai ke-15; atau dibiarkan meliar sebagai lahan bera dan kemudian menjadi hutan belukar kembali. Kelak, hutan belukar akan dibuka kembali sebagai ladang apabila dirasa kesuburan tanahnya telah dapat dipulihkan.Dalam kasus wanatani kompleks, ladang yang telah diperkaya tidak kemudian dibiarkan meliar menjadi belukar, melainkan diperkaya lebih lanjut dengan jenis-jenis pohon yang menghasilkan. Seperti misalnya pohon-pohon penghasil buah (durian, duku, cempedak, petai, dll.), getah (damar matakucing, karet, kemenyan, rambung), kayu-kayuan atau kayu bakar, dan lain-lain. Setelah berselang belasan tahun, ladang ini telah berubah menjadi hutan buatan yang menghasilkan aneka jenis produk, yang mampu bertahan hingga berpuluh-puluh tahun ke depan.sumber

sejarah agroforestri

Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan tersebut dan sekaligus untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan.


google_protectAndRun("ads_core.google_render_ad", google_handleError, google_render_ad);
Konsepsi “agroforestry” dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutan-hutan di negara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan di bidang kehutanan pun sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas.Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks.Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-sayuran dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah besar. Ciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestri (Icraf dalam Hairiah et al. 2003).


google_protectAndRun("ads_core.google_render_ad", google_handleError, google_render_ad);
Pustaka :Anonim, 1992. Agrforestri, Manual Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. De Foresta, H. and G. Michon, 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRAD-CP and the Ford Foundation. Hairiah, K, M. A. Sardjono, dan S. Sabarnurdin, 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia Marsono, Dj 1991. Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indonesia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta. Michon, G dan H. de Foresta,1993, Peranan Agroforest. Peranan Sistem Agroforest Bagi Dunia Kehutanan dan Pertanian ICRAF and BIOTROP, Bogor, Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk, 2003, Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia Suryanto, P, Budiadi dan S. Sabarnurdin, 2005. Agroforestry (Bahan Ajar). Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East , 1st Edition, Oxford University Press, Oxford.

Sabtu, 24 April 2010

pekarangan

sistem tradisional. terletak di desa yang menyediakan produk subsisten dan komersial dan melayani beberapa fungsi secara simultan menggabungkan tanaman pertanian dengan tanaman pohon dan binatang.


sistem pertanian lahan kering yang sesuai harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. echologycally, sistem harus melindungi tanah dari erosi dan harus memberikan hasil yang berkelanjutan tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan.

2.economically, harus meningkatkan daya dukung ekosistem dan harus memberikan mata pencaharian jangka panjang kepada masyarakat.

3. psikologis dan politik rakyat harus dapat menghubungkannya. petani beroperasi pada dia dasar pengetahuan tradisional dan pengalaman pribadi, versi yang lebih baik dari sistem pertanian tradisional memiliki prospek yang lebih baik untuk diadopsi dari sistem tanam benar-benar baru.


sudah ada sistem agroforestri tradisional di java yang telah memenuhi kebutuhan ini selama berabad-abad dengan menggabungkan tanaman pertanian tanaman hutan (bene.at al.1977). dua sistem pertanian yang paling umum di Jawa barat sisi dari sawah sistem agrforestry keduanya.

Jumat, 23 April 2010

kekurangan makanan telah menjadi masalah yang semakin serius dalam beberapa tahun terakhir dan baik ekspansi dan intensifikasi lahan produksi padi terutama akan diperlukan untuk mengatasinya. karena sebagian besar daerah pertanian dataran rendah sudah di bawah pertanian intensif, ekspansi tidak mungkin dan ekspansi batin oleh fragmentasi lahan pertanian yang ada diperlukan. ukuran rata-rata pertanian terus menurun dan jumlah buruh tak bertanah dan pedesaan miskin terus meningkat meskipun mayoritas populasi di java masih mendapatkan mata pencaharian mereka dari pertanian (Soemarwoto 1979)

Pekarangan, Pertahanan Pangan yang Hilang

Sunday, 05 July 2009 17:44

Lahan yang makin menyempit tak hanya terjadi di sawah, kebun, atau ladang, tetapi juga di pekarangan, lahan yang langsung berdampingan dengan rumah. Fragmentasi lahan menjadikan pekarangan yang merupakan pertahanan pangan terakhir itu nyaris hilang. Kasus kurang gizi sangat boleh jadi akibat dari keadaan ini.

Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah di Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya. Sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, tetapi tidak mudah diterapkan. Di depan rumah bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga.


Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga.

Di sebuah rumah di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sebuah keluarga masih bisa memanen berbagai tanaman dan hewan dari pekarangan. Di pekarangan ada ubi, pepaya, lele, sapi, dan lebah madu. Tidak jauh dari rumahnya tersedia sawah yang memasok beras. Setidaknya gambaran seperti ini bisa mewakili profil pekarangan.


Gambaran pekarangan ini memang lebih sederhana dibandingkan dengan pekarangan pada masa lalu yang lebih komplet, yang di dalamnya ada tanaman obat-obatan, pohon bambu, pohon kelapa, pohon jati, dan lain-lain. Tanaman obat-obatan menjadi apotek hidup sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka dengan mudah mendapat obatnya.

”Saat ini keanekaragaman hayati pekarangan memang menurun. Peran pekarangan sebagai penopang ekonomi lebih menonjol ketimbang sebagai sumber gizi keluarga. Eksploitasi pekarangan meningkat. Mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Kepala Pusat Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga peneliti pekarangan, Antonius Budisusila.


Pada masa lalu, pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri.


Munculnya pekarangan dalam sistem pertanian di Nusantara tidak mudah didapat. Meski demikian, di dalam tulisan The Javanese Homegarden yang termuat di Journal for Farming Systems Research (1992) Otto Soemarwoto dan GR Conway yang mengutip artikel Terra (1954) menyebutkan, berdasarkan sumber tertulis, pekarangan sudah ada pada 860 Masehi. Meski demikian, pekarangan di Nusantara diperkirakan sudah lama ada. Terra menduga Jawa Tengah merupakan tempat asal usul pekarangan.

Akan tetapi, dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) memperlihatkan pelaut-pelaut Portugis yang membuat permukiman di sejumlah tempat juga menanami permukiman atau benteng sekitar dengan berbagai tanaman untuk bertahan hidup. Penulis buku itu, Paramita R Abdurachman, menyebutkan, kedatangan Portugis pada abad ke-16 menjadikan pekarangan penduduk pribumi mulai diolah dan ditanami bunga.


Fakta-fakta di atas sepertinya tidak perlu dipertentangkan, tetapi lebih dilihat sebagai saling melengkapi. Kemungkinan pekarangan memang sudah ada sebelum Portugis datang, tetapi kedatangan Portugis melengkapi tanaman di pekarangan, seperti bunga yang disebut di atas. Kedatangan bangsa lain pun, seperti Belanda, diperkirakan juga melengkapi tanaman dan juga hewan di pekarangan.


Penelitian mengenai pekarangan sudah banyak dilakukan. Sejak zaman kolonial, para peneliti sudah meminati meneliti pekarangan. Dalam History of Java (1817), Raffles menyebutkan, setidaknya terdapat 10 persen pekarangan dari luas areal pertanian yang ada.


Pada tahun 1937 publikasi yang dikeluarkan oleh Ochse memperlihatkan ada hubungan yang kuat antara kualitas pekarangan dan status gizi rumah tangga. Penelitian sebelumnya bersama Terra di Kutowinangun, Kabupaten Purworejo, menunjukkan, sebesar 18 persen asupan kalori dan 14 persen asupan protein penduduk setempat berasal dari pekarangan.

Isi pekarangan juga bermacam-macam hewan dan tanaman. Ada penelitian yang menarik, secara umum ciri pekarangan di Jateng selalu ada tanaman obat. Hal ini terkait dengan kebiasaan orang Jawa yang suka minum jamu. Di Jawa Barat pekarangan dicirikan dengan tanaman sayuran karena orang Sunda suka dengan lalapan.

Ada juga yang meneliti pekarangan dari sisi antropologi. Penny dan Ginting (1984) menyebutkan, secara umum pekarangan diurus oleh perempuan sehingga pekarangan mudah didapat di daerah yang memiliki pola kekerabatan matriarkal di Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Pekarangan sulit didapat di daerah dengan kekerabatan patriarkal seperti di Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.


Komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga. Hasil dari pekarangan tidak sedikit dibagikan kepada tetangga sekitar. Meski demikian, pembagian ini ada juga yang mengandung unsur mistis terkait dengan menghilangkan bahaya atau mengobati penyakit.

Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Otto Soemarwoto dan GR Conway itu memperlihatkan perubahan-perubahan stabilitas pekarangan pada masa tertentu. Pada kondisi produksi padi menurun atau terjadi paceklik, makanan pokok sekunder, seperti ubi, diambil dari pekarangan. Penjualan bambu dan kelapa yang dipanen dari pekarangan juga meningkat ketika terjadi paceklik. Pemanenan hasil pekarangan juga menunjukkan peningkatan menjelang Idul Fitri pada saat keluarga membutuhkan uang tunai.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Orde Baru mulai bergerak tahun 1969 dengan rencana pembangunan jangka panjang, terdapat sejumlah kelas menengah dan atas yang membutuhkan gizi yang baik. Ini dipenuhi petani dengan memproduksi komoditas-komoditas yang laku di pasar. Akibatnya, terjadi perubahan jenis komoditas yang ditanam di pekarangan secara drastis. Kecenderungan monokultur mengakibatkan masuknya berbagai penyakit. Akibatnya, bisa dilihat hingga sekarang, sejumlah sentra pertanian bertumbangan dan sulit untuk bangkit.


Sementara itu, Budisusila melihat pekarangan muncul ketika pasar dan negara (dan juga kerajaan pada masa lalu) tidak memikirkan pangan rakyat. Rakyat mampu secara mandiri memikirkan ketahanan pangan mereka.


”Pasar dan negara sudah terbukti sejak masa lalu hingga hari ini bukan institusi yang baik yang memikirkan ketahanan pangan rakyat. Rakyat mempunyai inisiatif sendiri yang serius melalui pekarangan,” katanya. Ia juga menyebutkan, pada masa penjajahan Belanda pekarangan mampu menjadi penopang kebutuhan pangan rakyat.


Ideologi kemandirian pangan sebenarnya sudah ada sejak lama di tingkat rakyat. Rakyat mempunyai otoritas untuk memperjuangkan kemandirian pangan, setidaknya melalui pekarangan. Dalam hal ini mestinya negara mendukung, tetapi ada ketidakrelaan negara kalau rakyat mempunyai inisiatif yang kuat sehingga tanpa disadari kemandirian itu terkikis. Di sisi lain ada kepentingan agar kemandirian dirusak karena kalau kemandirian itu kokoh, pelaku pasar alias kekuatan modal tak mampu menawarkan sesuatu kepada masyarakat (konsumen).

Di samping itu, Budisusila melihat pekarangan merupakan cermin kebudayaan rakyat dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek ketahanan pangan, ekonomi, artistik, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin terjadi dalam jangka menengah dan jangka panjang.


Kompas, 1 September 2008. Ditulis oleh Andreas Maryoto


http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=178:pekarangan-pertahanan-pangan-yang-hilang&catid=42:artikel&Itemid=84 23 april 2010

MAANFAAT PEKARANGAN

MANFAAT PEKARANGAN
(Kursus Karang Taruna Jebres Surakarta, 17 – 20 Sepetember 1982).

pertanian.uns.ac.id/~agronomi/dashor_link/manfaat_pekarangan.doc

PENDAHULUAN
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”.

Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).

FUNGSI HUBUNGAN SOSIAL BUDAYA

Ditinjau dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh dari fungsi estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa anggota masyarakat pedesaan yang elah “maju”, terlebih pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya dengan tanaman hias dengan dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”, justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama sekali. Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbka atau diberi pinu yang mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi masyarakat umum untuk keluar masuk pekarangannya.
Nampaknya, bagi masyarakat desa, pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum (lurung) antar tetangga, atar kampung, antar dkuh, ahkan antar desa satu dengan yang lainnya.
Di samping itu, pada setiap pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan” (Sunda) yang dapat dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung. Adanya kolam tempat mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga dapat dipergunakan oleh orang-orang sekampung dengan bebas bahkan sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana komunikasi masa (Soemarwoto, 1978).
Jadi, bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah milik pribadi yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di mana anggota masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.

FUNGSI HUBUNGAN EKONM

Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Dari hasil survey pemanfaatan pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro (1978), sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu (Tabel 1): sebagai sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan kerajinan).

Tabel 1. Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani di kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).

No.
Golongan Tanaman
Macam Tanamannya
I

Sumber bahan makanan tambahan :
1. Tanaman karbohdrat

2. Tanaman sayuran
3. Buah-buahan

4. Lain-lain


Ubikayu, ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel, mundu, dll.
Sirih.
II
Tanaman perdagangan
Kelapa, cengkeh, rambutan.
III
Rempah-rempah, obat-obatan.
Jahe, laos, kunir, kencur, dll.
IV
Kayu-kayuan:
1. Kayu bakar
2. Bahan bangunan
3. Bahan kerajinan

Munggur, mahoni, lmtoro.
Jati, sono, bambu, wadang.
Bambu, pandan, dll.
Sumber: Danoesastro, 1978.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka Danoesastro (1977) sampai pada kesimpulan bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana alam yang lain.

FUNGSI HUBUNGAN BIOFISIKA

Pada pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru pertama kali turun masuk desa, akan nampak olehnya sistem pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan segala macam jenis tanaman dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan” karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan manifestasi kemanunggalan manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah diajarkan nenek moyangnya.
Di daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935) disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang besar ..........Semua mempunai tempatna sendiri dari tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.....

Dalam teori kebatinan Jawa, disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya satu dan tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah ternyata, yang secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya proses daur ulang (recycling) secara natural (alami) yang paling efektif dan efisien, sehingga pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat buangan. Apa yang menjadi zat buangan dari suatu proses, merupakan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses berikutnya yang lain. Sebagai contoh, segala macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan menjadi kompos untuk pupuk tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke kolam untuk dimakan ikan. Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan manusia, kotoran manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos, demikian seterusnya tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
Keluarga di atas kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga kelangsungannya.

DAMPAK MODERNISASI YANG MEMPRIHATINKAN

Tetapi sayang, berbaai fungsi dari pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek pembangunan industri dan prasarana lain di desa pinggiran sering kurang memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks perumahan karyawannya yang terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan penhuni asli dan yang dipagar keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi bagi masyarakat penatang dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika pembangunan itu sendiri membutuhkan tanah urug yang harus diambilkan dari tanah lapisan aas (top soil) pekarangan penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak saja menjadi kehilangan “lumbung hidup” atau “pangkalan induknya” karena pekarangan dan tegalannya tidak produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas lingkungannya menjadi rusak karena daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh pembangunan yang kurang bijak, modernisasi perumahan yang mengganti tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.

DAFTAR ACUAN

Danoesastro, Haryono : “Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Maret 1978.
__________________- : Survai Pekarangan Kecamatan Kalasan,kerjasama Fakultas Pertanian UGM dengan Diperta Daerah Istimewa Yagyakarta. 1979.
__________________ : Pemanfaatan Pekarangan. Yayaan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta, 1979.
Hidding, K.A.H. : Gebruiken en Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O : “Pegaruh Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma, N.3 Juli 1975.
_____________ : Ekologi Desa: Lingkungan Hidup dan Kualitas Hdup. Prisma, No. 8, September 1978.
Terra, G.J.A. : Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.