Rabu, 28 April 2010

KHASIAT TANAMAN JANGU (ACORUS CALAMUS)



ACORUS CALAMUS L.Botani Sinonim : Acorus terreestris Spreng.Klasifikasi Divisi : SpermatophytaSub divisi : AngiospermaeKelas : MonocoiyledonaeBangsa : AralesSuku : AraceaeWarga : AcorusJenis : Acorus calamus L.Nama umum/dagang : DlingoNama daerah Sumatera : Jeurunger (Aceh) Jerango (Gayo) Jerango (Batak) Jarianggu (Minangkabau)Jawa : Daringo (Sunda) Dlingo {Jawa Tengah) Jharango (Madura)Bali : JanguNusa Tenggara : Kaliraga (Flores) Jeringo (Sasak)Sulawesi : Kareango (Makasar) Kalamunga (Minahasa) Areango (Bugis)Maluku : Ai wahu (Ambon) Bila (Buru)Deskripsi Habitus : Herba, (ahunan, tinggi + 75 cmBatang : Basah, pendek, membentuk rimpang, putifi kotor.Daun : Tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal memeluk batang, panjang ± 60 cm, lebar ± 5 cm, pertulangan sejajar, hijau.Bunga : Majemuk, bentuk bongkol, ujung meruncing, panjang 20-25 cm, di ketiak daun, tangkai sari panjang ± 2,75 mm, kepala sari panjang ± 2,75 mm, kepala sari panjang ± 0,5 mm, putik 1-1,5 mm, kepala putik meruncing, panjang ± 0,5 mm, mahkota bulat panjang, panjang 1-1,5 mm, puith.Akar : Serabut. coklat.Khasiat Rimpang Acorus calamus berkhasiat sebagai obat penenang, obat lambungdan obat limpa, di samping itu merupakan bahan baku kosmetika. Untuk obat penenang dipakai ± 3 gram rimpang Acorus calamus, dicucidan dipotong kecil-kecil kemudian direbus dengan 2 gela air selama 15menit. Hasil rebusan diminum sehari dua kali 1/2 gelas pagi dan sore.Kandungan kimia Rimpang dan daun acorus calamus mengandung saponin dan flavonoida,di samping rimpangnya mengandung minyak atsiri.



DLINGU ini adalah jenis tanaman yang mirip jenis rhizoma. DLINGUakan tumbuh lebih baik (dalam arti akarnya akan cepat besar) jikahidup di tanam yang terus menerus tergenang air.ayah saya dulu menanamnya di sawah pinggir sungai, jadi tidak adamasalah dengan pasokan air, aman dan selalu terendam ^_^DLINGU mempunyai bau khas yang segar. baunya unik dan saya suka.daun dlingu mirip seperti daun pandan, dengan tinggi sekitar 40-50cm dari atas prmukaan air. tumbuhan ini jika ditanam yang tampakdari atas hanya daunnya saja, sedangkan akarnya terendam air.akar utamanya besar dan panjang, mirip lengkuas (laos), tapi lebihempuk jika dibandingkan dengan kulit luar lengkuas. warnanya jugamirip. bedanya, jika akar lengkuas itu kecil2, maka akar utamaDLINGU berdiameter sekitar 2-3,5 cm. ada yang bercabang juga. akarutama dlingu juga panjang, bisa mencapai lebih dari 2 meter, tidakseperti lengkuas yang mungkin hanya sampai 16 cm.selain akar utama, ada juga akar kecil2 yang mungkin adalahakar 'sesungguhnya dari dlingu ini di sekitar akar utamanya.

Selasa, 27 April 2010

wanatani

http://www.koempoels.com/showthread.php?536-Wanatani

Wanatani atau agroforest adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Model-model wanatani bervariasi mulai dari wanatani sederhana berupa kombinasi penanaman sejenis pohon dengan satu-dua jenis komoditas pertanian, hingga ke wanatani kompleks yang memadukan pengelolaan banyak spesies pohon dengan aneka jenis tanaman pertanian, dan bahkan juga dengan ternak atau perikanan.Dalam bentuk yang dikenal umum, wanatani ini mencakup rupa-rupa kebun campuran, tegalan berpohon, ladang, lahan bera (belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di Jawa Barat, repong di Lampung Barat, parak di Sumatra Barat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (simpukng) di Kalimantan Timur, dan lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia.

ESENSI WANATANI

Perpaduan tanaman sengon dengan salak pondoh di lapisan bawahnya. Leksono, WonosoboAneka bentuk wanatani ini sebetulnya mencerminkan strategi pengelolaan sumberdaya oleh petani. Tidak seperti halnya perkebunan-perkebunan besar yang dikelola perusahaan, kebanyakan kebun atau hutan rakyat tidak dikelola hanya untuk menghasilkan satu komoditas atau produk. Petani umumnya mengharap kebun atau ladangnya dapat menghasilkan tanaman pangan utama (misalnya padi atau jagung), atau tanaman yang bernilai ekonomi tinggi (seperti kopi, cengkeh, karet dll.), ditambah dengan produk-produk lain yang sifatnya subsisten seperti kayu bakar, tanaman rempah dan obat, pakan ternak, aneka hasil lainnya.Variasi unsur-unsur dalam wanatani itu kurang lebih dapat disederhanakan, sbb.:* perpaduan antara tanaman keras (jangka panjang: pohon-pohonan) dengan tanaman semusim (pertanian jangka pendek)* perpaduan tanaman utama (sumber pangan, komoditas ekonomi) dengan tanaman sampingan* perpaduan tanaman penghasil dengan tanaman pendukung (misalnya kopi atau kakao, dengan pohon-pohon peneduhnya)* perpaduan tanaman dengan musim atau umur panen berbeda-beda: padi ladang, mentimun, kopi, damar matakucing, durian.* perpaduan pengelolaan pohon-pohonan dengan perikanan (tambak, balong, embung), dikenal juga dengan istilah silvofishery* perpaduan dengan pemeliharaan ternak (silvopasture) atau pemeliharaan lebah: hutan sebagai penghasil pakan ternak atau lebah, seperti di Sumbawa.


Wanatani sederhana

Campuran jati dengan tanaman semusim seperti ubi kayu dan lain-lain. Desa Kedungkeris, Nglipar, Gunung KidulSeperti yang dicerminkan oleh namanya, wanatani sederhana terdiri dari sejumlah kecil unsur penyusun sistem: satu atau dua jenis pohon bercampur dengan satu atau beberapa jenis tanaman pertanian.

Pola-pola sederhana ini kerap dipraktekkan petani untuk memaksimalkan hasil, terutama di wilayah-wilayah padat penduduk. Pohon-pohon turi, randu, atau jati kerap ditanam pada pematang atau sebagai pembatas petak-petak sawah atau tegalan, di mana tanaman semusim ditanam. Turi membantu menyuburkan tanah dan bunganya dimanfaatkan sebagai sayuran; randu menghasilkan buah kapuk; dan dari jati diharapkan kayunya yang mahal harganya. Bentuk lain adalah pertanaman jeruk atau mangga, yang ditanam pada gundukan-gundukan tanah di tengah sawah.

Pada sisi yang lain, pola yang mirip dimanfaatkan dalam membangun hutan. Pola tumpangsari dalam menanam hutan jati atau hutan pinus di Jawa, adalah satu bentuk wanatani sederhana. Dalam tumpangsari, petani pesanggem dibolehkan memelihara padi ladang, jagung, ketela pohon dan lain-lain di sela-sela larikan tanaman pokok kehutanan (jati, pinus, dll.) yang baru ditanam. Biasanya pada tahun ketiga atau keempat, setelah tanaman hutannya merimbun dan menaungi tanah, kontrak tumpangsari ini berakhir.Ilmu agroforestri klasik (classic agroforestry) banyak berkutat dengan model-model wanatani sederhana ini.


Wanatani kompleks

Wanatani durian. Desa Lolong, Karanganyar, PekalonganWanatani kompleks (complex agroforestry systems) atau wanatani sejati merupakan perpaduan rumit pelbagai unsur wanatani di atas, yang pada gilirannya juga memberikan aneka hasil atau manfaat pada rentang waktu dan interaksi yang tidak terbatas. Pada akhirnya, wanatani ini memiliki struktur dan dinamika ekosistem yang mirip dengan hutan alam, dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang relatif tinggi.Wanatani durian. Desa Lolong, Karanganyar, PekalonganWanatani kompleks merupakan perkembangan lanjut dari wanatani sederhana, meski kebanyakan pola wanatani sederhana yang telah mantap tidak selalu bertumbuh terus menjadi sistem yang lebih rumit. Selain ditentukan oleh kepadatan penduduk dan –sebagai konsekuensinya– keterbatasan lahan, tidak berkembangnya wanatani sederhana menjadi kompleks kemungkinan besar juga ditentukan oleh iklim dan kondisi tanah setempat. Budaya wanatani kompleks sejauh ini berkembang di daerah-daerah yang semula merupakan hutan hujan tropika yang memiliki struktur mirip.


Hampir selalu, wanatani kompleks berawal dari ladang yang diperkaya. Sistem perladangan biasanya dimulai dengan membuka hutan primer atau hutan sekunder, menebangi dan membakar kayu-kayunya, dan menanaminya dengan tanaman pangan atau sayur mayur selama satu atau dua daur. Setelah itu ladang diperkaya dengan tanaman keras seperti kopi atau kakao, atau rotan, yang hasilnya dapat dipanen antara tahun ke-5 sampai ke-15; atau dibiarkan meliar sebagai lahan bera dan kemudian menjadi hutan belukar kembali. Kelak, hutan belukar akan dibuka kembali sebagai ladang apabila dirasa kesuburan tanahnya telah dapat dipulihkan.Dalam kasus wanatani kompleks, ladang yang telah diperkaya tidak kemudian dibiarkan meliar menjadi belukar, melainkan diperkaya lebih lanjut dengan jenis-jenis pohon yang menghasilkan. Seperti misalnya pohon-pohon penghasil buah (durian, duku, cempedak, petai, dll.), getah (damar matakucing, karet, kemenyan, rambung), kayu-kayuan atau kayu bakar, dan lain-lain. Setelah berselang belasan tahun, ladang ini telah berubah menjadi hutan buatan yang menghasilkan aneka jenis produk, yang mampu bertahan hingga berpuluh-puluh tahun ke depan.sumber

sejarah agroforestri

Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan tersebut dan sekaligus untuk mengatasi masalah ketersediaan pangan.


google_protectAndRun("ads_core.google_render_ad", google_handleError, google_render_ad);
Konsepsi “agroforestry” dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutan-hutan di negara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan di bidang kehutanan pun sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas.Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah dipraktekan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks.Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-sayuran dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya. Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah besar. Ciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestri (Icraf dalam Hairiah et al. 2003).


google_protectAndRun("ads_core.google_render_ad", google_handleError, google_render_ad);
Pustaka :Anonim, 1992. Agrforestri, Manual Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. De Foresta, H. and G. Michon, 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRAD-CP and the Ford Foundation. Hairiah, K, M. A. Sardjono, dan S. Sabarnurdin, 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia Marsono, Dj 1991. Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indonesia. Buletin Instiper Volume.2. No.2. Institut Pertanian STIPER. Yogyakarta. Michon, G dan H. de Foresta,1993, Peranan Agroforest. Peranan Sistem Agroforest Bagi Dunia Kehutanan dan Pertanian ICRAF and BIOTROP, Bogor, Suprayogo. D, K Hairiah, N Wijayanto, Sunaryo dan M Noordwijk, 2003, Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. PO Box 161 Bogor, Indonesia Suryanto, P, Budiadi dan S. Sabarnurdin, 2005. Agroforestry (Bahan Ajar). Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East , 1st Edition, Oxford University Press, Oxford.

Sabtu, 24 April 2010

pekarangan

sistem tradisional. terletak di desa yang menyediakan produk subsisten dan komersial dan melayani beberapa fungsi secara simultan menggabungkan tanaman pertanian dengan tanaman pohon dan binatang.


sistem pertanian lahan kering yang sesuai harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. echologycally, sistem harus melindungi tanah dari erosi dan harus memberikan hasil yang berkelanjutan tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan.

2.economically, harus meningkatkan daya dukung ekosistem dan harus memberikan mata pencaharian jangka panjang kepada masyarakat.

3. psikologis dan politik rakyat harus dapat menghubungkannya. petani beroperasi pada dia dasar pengetahuan tradisional dan pengalaman pribadi, versi yang lebih baik dari sistem pertanian tradisional memiliki prospek yang lebih baik untuk diadopsi dari sistem tanam benar-benar baru.


sudah ada sistem agroforestri tradisional di java yang telah memenuhi kebutuhan ini selama berabad-abad dengan menggabungkan tanaman pertanian tanaman hutan (bene.at al.1977). dua sistem pertanian yang paling umum di Jawa barat sisi dari sawah sistem agrforestry keduanya.

Jumat, 23 April 2010

kekurangan makanan telah menjadi masalah yang semakin serius dalam beberapa tahun terakhir dan baik ekspansi dan intensifikasi lahan produksi padi terutama akan diperlukan untuk mengatasinya. karena sebagian besar daerah pertanian dataran rendah sudah di bawah pertanian intensif, ekspansi tidak mungkin dan ekspansi batin oleh fragmentasi lahan pertanian yang ada diperlukan. ukuran rata-rata pertanian terus menurun dan jumlah buruh tak bertanah dan pedesaan miskin terus meningkat meskipun mayoritas populasi di java masih mendapatkan mata pencaharian mereka dari pertanian (Soemarwoto 1979)

Pekarangan, Pertahanan Pangan yang Hilang

Sunday, 05 July 2009 17:44

Lahan yang makin menyempit tak hanya terjadi di sawah, kebun, atau ladang, tetapi juga di pekarangan, lahan yang langsung berdampingan dengan rumah. Fragmentasi lahan menjadikan pekarangan yang merupakan pertahanan pangan terakhir itu nyaris hilang. Kasus kurang gizi sangat boleh jadi akibat dari keadaan ini.

Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah di Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya. Sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, tetapi tidak mudah diterapkan. Di depan rumah bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga.


Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga.

Di sebuah rumah di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sebuah keluarga masih bisa memanen berbagai tanaman dan hewan dari pekarangan. Di pekarangan ada ubi, pepaya, lele, sapi, dan lebah madu. Tidak jauh dari rumahnya tersedia sawah yang memasok beras. Setidaknya gambaran seperti ini bisa mewakili profil pekarangan.


Gambaran pekarangan ini memang lebih sederhana dibandingkan dengan pekarangan pada masa lalu yang lebih komplet, yang di dalamnya ada tanaman obat-obatan, pohon bambu, pohon kelapa, pohon jati, dan lain-lain. Tanaman obat-obatan menjadi apotek hidup sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka dengan mudah mendapat obatnya.

”Saat ini keanekaragaman hayati pekarangan memang menurun. Peran pekarangan sebagai penopang ekonomi lebih menonjol ketimbang sebagai sumber gizi keluarga. Eksploitasi pekarangan meningkat. Mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Kepala Pusat Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga peneliti pekarangan, Antonius Budisusila.


Pada masa lalu, pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri.


Munculnya pekarangan dalam sistem pertanian di Nusantara tidak mudah didapat. Meski demikian, di dalam tulisan The Javanese Homegarden yang termuat di Journal for Farming Systems Research (1992) Otto Soemarwoto dan GR Conway yang mengutip artikel Terra (1954) menyebutkan, berdasarkan sumber tertulis, pekarangan sudah ada pada 860 Masehi. Meski demikian, pekarangan di Nusantara diperkirakan sudah lama ada. Terra menduga Jawa Tengah merupakan tempat asal usul pekarangan.

Akan tetapi, dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) memperlihatkan pelaut-pelaut Portugis yang membuat permukiman di sejumlah tempat juga menanami permukiman atau benteng sekitar dengan berbagai tanaman untuk bertahan hidup. Penulis buku itu, Paramita R Abdurachman, menyebutkan, kedatangan Portugis pada abad ke-16 menjadikan pekarangan penduduk pribumi mulai diolah dan ditanami bunga.


Fakta-fakta di atas sepertinya tidak perlu dipertentangkan, tetapi lebih dilihat sebagai saling melengkapi. Kemungkinan pekarangan memang sudah ada sebelum Portugis datang, tetapi kedatangan Portugis melengkapi tanaman di pekarangan, seperti bunga yang disebut di atas. Kedatangan bangsa lain pun, seperti Belanda, diperkirakan juga melengkapi tanaman dan juga hewan di pekarangan.


Penelitian mengenai pekarangan sudah banyak dilakukan. Sejak zaman kolonial, para peneliti sudah meminati meneliti pekarangan. Dalam History of Java (1817), Raffles menyebutkan, setidaknya terdapat 10 persen pekarangan dari luas areal pertanian yang ada.


Pada tahun 1937 publikasi yang dikeluarkan oleh Ochse memperlihatkan ada hubungan yang kuat antara kualitas pekarangan dan status gizi rumah tangga. Penelitian sebelumnya bersama Terra di Kutowinangun, Kabupaten Purworejo, menunjukkan, sebesar 18 persen asupan kalori dan 14 persen asupan protein penduduk setempat berasal dari pekarangan.

Isi pekarangan juga bermacam-macam hewan dan tanaman. Ada penelitian yang menarik, secara umum ciri pekarangan di Jateng selalu ada tanaman obat. Hal ini terkait dengan kebiasaan orang Jawa yang suka minum jamu. Di Jawa Barat pekarangan dicirikan dengan tanaman sayuran karena orang Sunda suka dengan lalapan.

Ada juga yang meneliti pekarangan dari sisi antropologi. Penny dan Ginting (1984) menyebutkan, secara umum pekarangan diurus oleh perempuan sehingga pekarangan mudah didapat di daerah yang memiliki pola kekerabatan matriarkal di Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Pekarangan sulit didapat di daerah dengan kekerabatan patriarkal seperti di Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.


Komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga. Hasil dari pekarangan tidak sedikit dibagikan kepada tetangga sekitar. Meski demikian, pembagian ini ada juga yang mengandung unsur mistis terkait dengan menghilangkan bahaya atau mengobati penyakit.

Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Otto Soemarwoto dan GR Conway itu memperlihatkan perubahan-perubahan stabilitas pekarangan pada masa tertentu. Pada kondisi produksi padi menurun atau terjadi paceklik, makanan pokok sekunder, seperti ubi, diambil dari pekarangan. Penjualan bambu dan kelapa yang dipanen dari pekarangan juga meningkat ketika terjadi paceklik. Pemanenan hasil pekarangan juga menunjukkan peningkatan menjelang Idul Fitri pada saat keluarga membutuhkan uang tunai.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Orde Baru mulai bergerak tahun 1969 dengan rencana pembangunan jangka panjang, terdapat sejumlah kelas menengah dan atas yang membutuhkan gizi yang baik. Ini dipenuhi petani dengan memproduksi komoditas-komoditas yang laku di pasar. Akibatnya, terjadi perubahan jenis komoditas yang ditanam di pekarangan secara drastis. Kecenderungan monokultur mengakibatkan masuknya berbagai penyakit. Akibatnya, bisa dilihat hingga sekarang, sejumlah sentra pertanian bertumbangan dan sulit untuk bangkit.


Sementara itu, Budisusila melihat pekarangan muncul ketika pasar dan negara (dan juga kerajaan pada masa lalu) tidak memikirkan pangan rakyat. Rakyat mampu secara mandiri memikirkan ketahanan pangan mereka.


”Pasar dan negara sudah terbukti sejak masa lalu hingga hari ini bukan institusi yang baik yang memikirkan ketahanan pangan rakyat. Rakyat mempunyai inisiatif sendiri yang serius melalui pekarangan,” katanya. Ia juga menyebutkan, pada masa penjajahan Belanda pekarangan mampu menjadi penopang kebutuhan pangan rakyat.


Ideologi kemandirian pangan sebenarnya sudah ada sejak lama di tingkat rakyat. Rakyat mempunyai otoritas untuk memperjuangkan kemandirian pangan, setidaknya melalui pekarangan. Dalam hal ini mestinya negara mendukung, tetapi ada ketidakrelaan negara kalau rakyat mempunyai inisiatif yang kuat sehingga tanpa disadari kemandirian itu terkikis. Di sisi lain ada kepentingan agar kemandirian dirusak karena kalau kemandirian itu kokoh, pelaku pasar alias kekuatan modal tak mampu menawarkan sesuatu kepada masyarakat (konsumen).

Di samping itu, Budisusila melihat pekarangan merupakan cermin kebudayaan rakyat dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek ketahanan pangan, ekonomi, artistik, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin terjadi dalam jangka menengah dan jangka panjang.


Kompas, 1 September 2008. Ditulis oleh Andreas Maryoto


http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=178:pekarangan-pertahanan-pangan-yang-hilang&catid=42:artikel&Itemid=84 23 april 2010

MAANFAAT PEKARANGAN

MANFAAT PEKARANGAN
(Kursus Karang Taruna Jebres Surakarta, 17 – 20 Sepetember 1982).

pertanian.uns.ac.id/~agronomi/dashor_link/manfaat_pekarangan.doc

PENDAHULUAN
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”.

Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).

FUNGSI HUBUNGAN SOSIAL BUDAYA

Ditinjau dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh dari fungsi estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa anggota masyarakat pedesaan yang elah “maju”, terlebih pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya dengan tanaman hias dengan dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”, justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama sekali. Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbka atau diberi pinu yang mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi masyarakat umum untuk keluar masuk pekarangannya.
Nampaknya, bagi masyarakat desa, pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum (lurung) antar tetangga, atar kampung, antar dkuh, ahkan antar desa satu dengan yang lainnya.
Di samping itu, pada setiap pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan” (Sunda) yang dapat dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung. Adanya kolam tempat mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga dapat dipergunakan oleh orang-orang sekampung dengan bebas bahkan sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana komunikasi masa (Soemarwoto, 1978).
Jadi, bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah milik pribadi yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di mana anggota masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.

FUNGSI HUBUNGAN EKONM

Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Dari hasil survey pemanfaatan pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro (1978), sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu (Tabel 1): sebagai sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan kerajinan).

Tabel 1. Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani di kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).

No.
Golongan Tanaman
Macam Tanamannya
I

Sumber bahan makanan tambahan :
1. Tanaman karbohdrat

2. Tanaman sayuran
3. Buah-buahan

4. Lain-lain


Ubikayu, ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel, mundu, dll.
Sirih.
II
Tanaman perdagangan
Kelapa, cengkeh, rambutan.
III
Rempah-rempah, obat-obatan.
Jahe, laos, kunir, kencur, dll.
IV
Kayu-kayuan:
1. Kayu bakar
2. Bahan bangunan
3. Bahan kerajinan

Munggur, mahoni, lmtoro.
Jati, sono, bambu, wadang.
Bambu, pandan, dll.
Sumber: Danoesastro, 1978.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka Danoesastro (1977) sampai pada kesimpulan bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana alam yang lain.

FUNGSI HUBUNGAN BIOFISIKA

Pada pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru pertama kali turun masuk desa, akan nampak olehnya sistem pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan segala macam jenis tanaman dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan” karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan manifestasi kemanunggalan manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah diajarkan nenek moyangnya.
Di daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935) disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang besar ..........Semua mempunai tempatna sendiri dari tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.....

Dalam teori kebatinan Jawa, disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya satu dan tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah ternyata, yang secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya proses daur ulang (recycling) secara natural (alami) yang paling efektif dan efisien, sehingga pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat buangan. Apa yang menjadi zat buangan dari suatu proses, merupakan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses berikutnya yang lain. Sebagai contoh, segala macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan menjadi kompos untuk pupuk tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke kolam untuk dimakan ikan. Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan manusia, kotoran manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos, demikian seterusnya tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
Keluarga di atas kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga kelangsungannya.

DAMPAK MODERNISASI YANG MEMPRIHATINKAN

Tetapi sayang, berbaai fungsi dari pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek pembangunan industri dan prasarana lain di desa pinggiran sering kurang memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks perumahan karyawannya yang terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan penhuni asli dan yang dipagar keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi bagi masyarakat penatang dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika pembangunan itu sendiri membutuhkan tanah urug yang harus diambilkan dari tanah lapisan aas (top soil) pekarangan penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak saja menjadi kehilangan “lumbung hidup” atau “pangkalan induknya” karena pekarangan dan tegalannya tidak produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas lingkungannya menjadi rusak karena daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh pembangunan yang kurang bijak, modernisasi perumahan yang mengganti tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.

DAFTAR ACUAN

Danoesastro, Haryono : “Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Maret 1978.
__________________- : Survai Pekarangan Kecamatan Kalasan,kerjasama Fakultas Pertanian UGM dengan Diperta Daerah Istimewa Yagyakarta. 1979.
__________________ : Pemanfaatan Pekarangan. Yayaan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta, 1979.
Hidding, K.A.H. : Gebruiken en Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O : “Pegaruh Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma, N.3 Juli 1975.
_____________ : Ekologi Desa: Lingkungan Hidup dan Kualitas Hdup. Prisma, No. 8, September 1978.
Terra, G.J.A. : Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.

home garden

pekarangan umumnya dipandang sebagai sistem produksi agriculturaal khas yang dilakukan oleh rumah tangga. mengklasifikasikan pekarangan sebagai jenis yang berbeda dan unik dari sistem produksi pertanian. definisi berdasarkan premis ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana sistem kebun rumah berbeda dari sistem produksi pertanian lainnya.


karakteristik yang paling sering digunakan untuk mendefinisikan sistem rumah kebun merujuk kepada: 1 lokasi 2. keanekaragaman 3. konsumsi rumah tangga produksi pertanian dan ukuran

1.lokasi
a.inclusion by location

beberapa sinonim untuk kebun rumah lihat tempat di situs rumah tempat budidaya terjadi, termasuk kebun dapur (samping atau terkait erat dengan dapur) kembali kebun pekarangan dan kebun belakang pintu.

halaman pintu meliputi semua tumbuhan, bahkan rumput liar, tumbuh di dekat rumah dan lingkup kegiatan yang tanaman define. konsep taman halaman pintu telah digunakan oleh ahli geografi dan ethnobotanists ke deskripsi bingkai wilayah fungctional dan pengaturan tanaman-hewan-manusia di sekitar lokasi rumah di beberapa wilayah dunia.

sebidang tanah yang memiliki tempat tinggal di atasnya, batas-batas tetap dan hubungan fungsional dengan penghuninya (soemarwoto and soemarwoto. 1979)

b.exclusions by location (pengecualian oleh lokasi)


2. keanekaragaman
keanekaragaman umumnya diakui sebagai ciri utama kebun rumah dan sistem produksi pangan rumah tangga. mana definisi berbeda dalam menentukan sifat dari keanekaragaman dan sifat-sifat tambahan yang terkait dengan itu.

a) permanen dan kompleksitas ekologi
menghubungkan taman dengan tempat tinggal manusia menimbulkan permanen sebagai mendefinisikan sifat. pada gilirannya, gagasan bahwa taman rumah relatif tetap menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana diversifikasi, produksi tetap tercapai. hutterer mendefinisikan kebun rumah oleh "organisasi yang kompleks dan struktur vegetasi yang memasok nutrisi dibudidayakan sebagai puing organik

karakteristik echological banyak kebun rumah tradisional telah menarik perhatian di antara para pendukung pertanian berkelanjutan atau regeneratif.


b)mixed garden
di daerah beriklim sedang taman rumah lebih mungkin mengandung annuals tersusun rapi di tempat tidur dengan parrenial di baris

kebun makanan persamaan rumah atau keluarga dengan kebun sayuran adalah premis yang mendasari banyak dalam proyek-proyek berkebun.

Namun silang budaya taman rumah tradisional tidak eksklusif sebuah kebun sayur dan mungkin termasuk tanaman pangan yang dianggap sebagai pati karbohidrat utama (lebih tahan apa westrn mengklasifikasikan hortikultura sayur-sayuran) serta buah-buahan, kayu bakar, tumbuhan, dan rencana medicinals tumbuh hanya untuk mereka hias atau nilai magis

Rabu, 21 April 2010

kearifan lokal

diwilayah tropis kegiatan budidaya tanaman semusim ditentukan oleh siklus musim hujan dan musim kemarau dalam setahun. maka penetapan datangnya musim penghujan sehubungan dengan mulai bertanam merupakan persoalan yang memerlukan keputusan yang tepat.

keteraturan fenomena alam melahirkan kearifan yang dapat memberikan panduan dalam menghadapi keadaan yang menyimpang dari keadaan normal. dibali, masyarakat berupaya untuk mengenali fenomaena alam yang terjadiyang dilukiskan dalam chandra pranata mangsa. pada bulan agustus bertepatan dengan mangsa katelu dengan candranya suta manut ing bapa yang ditandai oleh tumbuhnya tanaman gadung (Dioascorea hispida Dennst.) dan merambat pada tegakan (lanjaran). pada saat itu fenomena alam tersebut belum muncul, yang berarti musim kemarau belum berakhir dan musim hujan belum tiba, shingga tidak bijaksana untuk mulai bertanam tanaman semusim.

awal tumbuhnya tanaman gadung terjadi pada pertengahan september dan musim hujan berawal pada akhir oktober. dari pengamatan terhadap munculnya tanman gadung, masyarakat tani mmeperkirakan bahwa musim hujan akadn datang sekitar 40 hari kemudian. musim hujan ditandai meningktnya hujan pada bulan november,desember, januari dan puncaknya pada februari.pada bulan maret hujan mulai berkurang secara bertahap hingga mei dan awal musim kemarau jatuh pada bulan juni.

pada peralihan ke musim kemarau para petani merencanakan penenaman palawija labuhan. seperti diketahui umbi tanman gadung mengalami dormansi pada musim kemarau, dan mulai tumbuh pada saat memasuki musim hujan. setelah beradaptasi pada kondisi alam yang demikian, maka tanaman gadung menjadi sensitif terhadap kelembaban tanah akibat perubahan musim, sebagai mekanisme untuk melanjutkan kehidupannya.


diseluruh wilayah persawahan terdapat berbagai varietas lokal tradisional. varietas lokal tresebut telah dipilih dan sisleksi oleh petani menurut kriteria petani, beragam dalam umur tanaman, bentuk gabah, warna sekam, rasa nasi serta kecocokannya terhadap musim tanam.

kearifan lokal tekah mengembangkan varietas padi tradisional yang memilki beragam karakteristik, termasuk keragaman genetik. keragaman tersebut ternyata dapat membentengi ketahanannya dari gangguan hama dan penyakit. varietas unggul dengan latar belakang genetik yang smpit memiliki kepekaan terhadap hama dan penyakit tertentu. penggusuran varietas lokal oleh varietas unggul yang berdampak terhadap "erosi genetik" telah menimbulkan masalah tersendiri.

secara tradisional, saat tanam padi yang tepat diakitkan dengan datangnya musim hujan. kearifan loakl yang telah berkembang diketahi pada bait-bait tembang :


pada awalnya, sebelum para petani menggunakan masukan agrokimia berupa pupuk dan pestisida, budidaya mneggunkaan kesuburan alami. pada ekosisitem sawah terdapat berbagai jasad retnik yang menambat N (nitrogen) yang memperkaya kadungan hara yang diperlukan tanaman. selama musim kemarau terjadi pelapuakan mineral-mieneral (yang memebebaskan unsur hara lainnya) yang penting artinya bagi pertumbuhan tanaman. pengolahan tanah dengan bajak menjelang musim hujan dimaksudkan untuk "mematangkan lahan"

Selasa, 20 April 2010

plan kegiatan observasi akhir april 2010

  1. menggambarkan pola dan komponen pekarangan yang ada didataran datar dan bergelombang dengan membuat transek dari titik rendah ke tiitk tinggi. minimal mendapatkan 12 pekarangan pada berbagai macam luasan (luas, sedang dan sempit)
  2. mengidentifikasi keragaman tanaman yang terdapat di dalam pekarangan
  3. mengidentifikasi keragaman spesies pada beberapa tanaman seperti; pisang
  4. mengidentifikasi tanaman yang ditanam pada komponen pekarangan yang tersedia air sepanjang waktu dan tidak tersedia sepanjang waktu.
  5. mengidentifikasi tanaman yang ditanam pada komponen pekarangan yang diduga memiliki kesuburan yang lebih tinggi di bandingkan dnegan komponenen lainnya sperti ;peceren (tempat pembuangan limbah cair), pawuhan (tempat pembuangan sampah dapur) dan plegongan (tempat untuk menambatkan dan menggembalakan ternak disiang hari ) jika ditemukan.
  6. mengetahui alasan secara umum penanaman tanaman dipekarangan sehingga dapat ditarik asumsi tentang fungsi tanaman yang ada dipekarangan dan faktor yang mempengaruhi pelatakan tanaman didalam pekarangan.

population density

kepadatan penduduk yang tinggi ada kecenderungan untuk tumbuh tanaman kas atau yang menghasilkan uang. sehingga keanekaragaman tanaman pada berkurang. Tetapi kadang-kadang tanah yang digunakan lebih intensif untuk tujuan mata pencaharian sehingga keanekaragaman tanaman meningkat.(penny and singarimbun 1973)

christanty.L, Ruchyat. Y
. 1985. homegarden sourcebook. vol I homegarden isssues and echological aspect. institut of echology padjajaran university bandung.indonesia

TRANSEK LG

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA
Oleh
OFRI JOHAN, M.Si.*
Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Agar hasil survei dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka perlu diperhatikan cara pemilihan keterwakilan lokasi, panjang transek (sampling) yang diambil dan banyaknya ulangan yang diperlukan.
Meskipun telah banyak metode survei pada saat ini, namun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dapat dikatakan belum ada suatu metode yang memuaskan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu karang dengan metode survei yang ada saat ini (Suharsono, 1994), antara lain:
1. Terumbu karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda mempunyai tipe yang berbeda.
2. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter hingga beberapa meter.
3. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu.
4. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap, seperti daun, dan sebagainya.
5. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan jenis yang hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi morfologi dari jenis yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda maupun tempat yang berbeda.
Penggunaan metode survei dalam menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri dari data: persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, ukuran koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk pertumbuhan, indeks keanekaragaman jenis (Suharsono, 1994).
Beberapa metode yang umum digunakan oleh peneliti dalam menggambarkan kondisi terumbu karang adalah:
* Disampaikan pada acara Training Course: Karakteristik Biologi Karang, tanggal 7-12 Juli 2003, yang diselenggarakan oleh PSK-UI dan Yayasan TERANGI, dan didukung oleh IOI-Indonesia.
1
1. Metode Transek Garis
2. Metode Transek Kuadrat
3. Metode Manta Tow
4. Metode Transek Sabuk (Belt transect)
Berikut akan kita coba menjelaskan secara ringkas masing-masing metode tersebut:
1. Metode Transek garis
Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form) dan dibolehkan bagi peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat karang hingga tingkat genus atau spesies.
Pemilihan lokasi survei harus memenuhi persyaratan keterwakilan komunitas karang di suatu pulau. Biasanya penentuan ini dilakukan setelah dilakukan pemantauan dengan metode Manta Tow.
Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol meter, peralatan scuba, alat tulis bawah air, tas nilon, palu dan pahat untuk mengambil sampel karang yang belum bisa diidentifikasi, dan kapal.
Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan terumbu karang batu (± 25 m) sampai di daerah pantai mengikuti pola kedalaman garis kontur. Umumnya dilakukan pada tiga kedalaman yaitu 3 m, 5 m dan 10 m, tergantung keberadaan karang pada lokasi di masing-masing kedalaman. Panjang transek digunakan 30 m atau 50 m yang penempatannya sejajar dengan garis pantai pulau.
Pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian mendekati centimeter. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di atas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Panjang tumpang tindih koloni dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis. Kondisi dasar dan kehadiran
2
karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain yang ditemukan di lokasi juga dicatat. Kelebihan
Kekurangan
􀂾 Akurasi data dapat diperoleh dengan baik
􀂾 Data yang diperoleh juga jauh lebih baik dan lebih banyak
􀂾 Penyahian struktur komunitas seperti persentase tutupan karang hidup/karang mati, kekayaan jenis, dominasi, frekuensi kehadiran, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh
􀂾 Struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang juga dapat disajikan dengan baik

􀂾 Membutuhkan tenaga peneliti yang banyak
􀂾 Survei membutuhkan waktu yang lama
􀂾 Dituntut keahlian peneliti dalam identifikasi karang, minimal life form dan sebaliknya genus atau spesies
􀂾 Peneliti dituntut sebagai penyelam yang baik
􀂾 Biaya yang dibutuhkan juga relatif lebih besar

TRANSEK

Panduan untuk Fasilitator

Pengantar

Hubungan antara manusia dan lingkungan alam bagi masyarakat pedesaan sangatlah erat. Mata pencaharian mereka adalah mengolah alam secara langsung, sehingga keadaan alam dan sumber-sumber daya akan sangat menentukan keadaan mereka. Misalnya, jenis-jenis kegiatan pertanian akan tergantung pada jenis dan keadaan tanah, ketersediaan air dan curah hujan, dan sebagainya. Rapatnya hubungan timbal-balik antara kehidupan masyarakat dan lingkungan alam menyebabkan hal ini perlu dipahami dalam mengembangkan program bersama masyarakat. Dengan teknik pemetaan, diperoleh gambaran keadaan sumber daya alam masyarakat bersama masalah-masalah, perubahan-perubahan keadaan, potensi-potensi yang ada. Sedangkan untuk mengamati secara langsung keadaan lingkungan dan sumber daya tersebut, digunakan Teknik Penelusuran Lokasi (Transek).

Dalam konteks itu, Fasilitator yang menjadi pendamping di Kelurahan/Desa akan sangat itensif beritekaksi dengan masyarakat pemanfaat P2KP dan masyarakat lain yang diharapkan akan memberikan dukungan pada program. Kegiatan awal yang akan dilaksanakan oleh Fasilitator adalah Sosialisasi Awal P2KP di tingkat Komunitas, Lingkungan RT/RW, Kelurahan/Desa dan kecamatan.

Kegiatan ini akan lebih berjalan lancar dan efektif bilamana Faskel memahami kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari desa/kelurahan yang menjadi lokasi P2KP. Pedoman in I diharapkan dapat menjadi bekal awal Faskel untuk menelusuri dan memahami kondisi menyeluruh di desa/kelurahan yang akan dijadikan lokasi sosialisasi awal.

Pengertian Dasar

Pengertian Harfiah

Arti harfiah (terjemahan lurus) dari “Transek” itu sendiri adalah gambar irisan muka bumi. Pada awalnya, transek dipergunakan oleh para ahli lingkungan untuk mengenali dan mengamati “wilayah-wilayah Ekologi” (pembagian wilayah lingkungan alam berdasarkan sifat khusus keadaannya).

Pengertian sebagai teknik PRA

Teknik Penelusuran Lokasi (Transek) adalah teknik PRA untuk melakukan pengamatan langsung lingkungan dan sumber daya masyarakat, dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang disepakati. Hasil pengamatan dan lintasan tersebut, kemudian dituangkan ke dalam bagan atau gambar irisan muka bumi untuk didiskusikan lebih lanjut.

Jenis Jenis Transek

Jenis-jenis Transek berdasarkan jenis informasi (topik kajian) terdiri dari tiga jenis yaitu Transek Sumber Daya Desa yang bersifat umum, Transek Sumber Daya Alam dan Transek untuk Topik Topik Khusus. Uraian singkat ketiha jenis transek tersebut adalaH:

Pertama, Transek Sumber Daya Desa ( Umum )

Penelusuran desa adalah pengamatan sambil berjalan melalui daerah pemukiman desa yang bersangkutan guna mengamati dan mendiskusikan berbagai keadaan. Keadaan-keadaan yang diamati yaitu pengaturan letak perumahan dan kondisinya, pengaturan halaman rumah, pengaturan air bersih untuk keluarga, keadaan sarana MCK (mandi-cuci-kakus), sarana umum desa (a.l. sekolah, took, tembok dan gapura desa, tiang listrik, puskesmas, dsb), juga lokasi kebun dan sumber daya pertanian secara garis besar. Kajian transek ini terarah terutama pada aspek-aspek umum pemukiman desa tersebut, terutama sarana-sarana yang dimiliki desa, sedangkan keadaan sumber daya alam dan bukan alam dibahas secara garis besarnya saja. Kajian ini akan sangat membantu dalam mengenal desa secara umum dan beberapa sapek lainnya dari wilayah pemukiman yang kurang diperharikan.

Kedua, Transek Sumber Daya Alam

Transek ini dilakukan untuk mengenal dan mengamati secara lebih tajam mengenai potensi sumberdaya alam serta permasalahan-permasalahannya, terutama sumber daya pertanian. Seringkali, lokasi kebun dan lahan pertanian lainnya milik masyarakat berada di batas dan luar desa, sehingga transek sumber daya alam ini bisa sampai keluar desa.

Informasi-informasi yang bisanya muncul antara lain adalah :
e Bentuk dan keadaan permukaan alam (topografi) : termasuk ke dalamnya adalah kemiringan lahan, jenis tanah dan kesuburannya, daerah tangkapan air dan sumber-sumber air (sungai, mata air, sumur).
e Pemanfaatan sumber daya tanah (tataguna lahan) : yaitu untuk wilayah permukiman, kebun, sawah, lading, hutan, bangunan, jalan, padang gembala, dan sebagainya.
e Pola usaha tani: mencakup jenis-jenis tanaman penting (antara lain jenis-jenis local) dan kegunaanya (misalnya tanaman pangan, tanaman obat, pakan ternak, dsb), produktivitas lahan dan hasilnya dan sebagainya.
e Teknologi setempat dan cara pengelolaan sumber daya alam : termasuk teknologi tradisional, misalnya penahan erosi dari batu, kayu, atau pagar hidup; pohon penahan api; pemeliharaan tanaman keras; system beternak; penanaman berbagai jenis rumput untuk pakan ternak, penahan air, penutup tanah; system pengelolaan air, (konservasi air, kontrol erosi, dan pengairan) dan beberapa hal lainnya.
e Pemilikan sumber daya alam : biasanya terdiri dari milik perorangan, milik adat, milik umum/desa, milik pemerintah (missal hutan).

Kajian lebih lanjut yang dilakukan antara lain adalah :
e Kajian mata pencaharian yang memanfaatkan sumber daya tersebut baik oleh pemilik maupun bukan (missal, penduduk yang tidak memiliki kebun mungkin menjadi pengumpul kayu bakar dari hutan, menjadi buruh, dsb).
e Kajian mengenai hal-hal lain yang mempengaruhi pengelolaan sumber daya, seperti perilaku berladang dan tata cara adat dalam pengelolaan tanah, pengelolaan air, peraturan memelihara ternak, upacara panen, dan sebagainya.

Ketiga, Transek Topik Topik Lain

Transek juga bisa dilakukan untuk mengamati dan membahas topik-topik khusus. Misalnya: transek yang dilakukan khusus untuk mengamati sarana kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan desa, transek wilayah persebaran hama, atau transek khusus untuk mengamati sumber air dan system pengelolaan aliran air serta irigasi, pendidikan dasar, dan sebagainya.

Transek berdasarkan Lintasan

Selain jenis transek berdasarkan topik kajian diatas, transek juga dapat dikelompokan dari segi cara penelusuran di lapangan, baik menurut garis lurus, bukan garis lurus dan atau melalui lintasan sumber air.

Pertama, Transek Lintasan Garis Lurus

Ditempat tim dan masyarakat berkumpul untuk melakukan penelusuran lokasi, dibahas dan ditetapkan lintasan yang akan dilakukan. Kegiatan penelusuran lokasi ini bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut :

e Berjalan mengikuti garis atau mengikuti jalan utama dan jalan-jalan di permukiman, di wilayah yang ingin diamati keadaanya (dengan demikian, lintasan yang sebenarnya tentu saja tidak benar-benar berupa ‘garis’ lurus)
e Berjalan mulai dari titik terendah sampai titik tertinggi atau sebaliknya dari titik tertinggi ke titik terendah (biasanya dilakukan untuk membandingkan kondisi lahan dan jenis usaha pertanian yang dilakukan pada tingkat ketinggian yang berbeda di wilayah dataran tinggi).

Kedua, Transek Lintasan Bukan Garis Lurus

Kegiatan ini dilakukan dengan perjalanan yang mengabaikan lintasan jalan yang ada. Yang menentukan adalah letak-letak atau lokasi pengamatan yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan demikian, perjalanan dimulai dengan lokasi yang paling dekat, kemudian paling jauh. Arah perjalanan untuk mencapai lokasi-lokasi yang akan diamati tersebut bisa dilakukan dengan beberapa kemungkinan yaitu :

e Berkelok-kelok (zig-zag)
e Bisa pulang pergi atau juga berputar
e Menyapu (semua arah)

Berdasar pengalaman, cara ini memberikan suatu hasil yang lebih menyeluruh daripada melintas lokai mengikuti garis lurus.

Ketiga, Transek Lintasan Saluran Air (Sumber Air)

Penelusuran ini dilakukan dengan berjalan mengikuti aliran air secara sistematis untuk menyusuri aliran air atau tepian sungai. Pengamatan dilakukan terhadap daerah di sepanjang saluran air atau tepian sungai untuk mengkaji penataan sumber air bagi pertanian dan memperoleh informasi tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilakukan oleh para petani.


Tujuan Transek

Penelusuran lokasi (Transek) dilakukan untuk memfasilitasi masyarakat agar mendiskusikan keadaan sumber-sumber daya dengan cara mengamati langsung hal yang didiskusikan di lokasinya.

Hal-hal yang biasanya didiskusikan adalah :
e Masalah-masalah pemeliharaan sumber daya pertanian : seperti erosi, kurangnya kesuburan tanah, hama dan penyakita tanaman, pembagian air, penggundulan hutan dan sebagainya.
e Potensi-potensi yang tersedia
e Pandangan dan harapan-harapan para petani mengenai keadaan-keadaan tersebut
e Hal lain disesuaikan dengan jenis transek dan topik bahasan yang dipilih untuk diamati.




Manfaat

Bagi orang dalam (Masyarakat)

Penelurusan lokasi ini akan menimbulkan perasaan senang karena mereka dapat memperkenalkan langsung pekerjaan, keadaan, pengetahuan dan keterampilan mereka kepada sesama petani dan orang luar.

Bagi “ orang luar “

Transek membantu “ orang luar “ untuk melihat dengan jelas mengenai kondisi alam dan rumitnya system pertanian dan pemeliharaan sumber daya alam yang dijalankan oleh masyarakat. Kita dapat belajar tentang cara masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Di dalam perencanaan program, transek dipergunakan untuk observasi lansung bagi kegiatan penjajagan kebutuhan dan potensi. Sedangkan dalam evaluasi program, teknik ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui fakta-fakta dan perubahan yang telah terjadi.


Langkah Langkah Penerapan

Persiapan

Persiapan pelaksanaan kegiatan transek yang sebaiknya secara khusus diperhatikan adalah mempersiapkan tim dan masyarakat yang akan ikut, termasuk menetukan kapan dan dimana akan berkumpul. Juga dipersiapkan alat-alat tulis, kertas lebar (palano), karton warna-warni, kertas berwarna, lem, spidol warna-warni. Juga akan menyenangkan apabila membawa perbekalan (makanan ).

Peserta terdiri dari tim PRA dan masyarakat, biasanya terdapat anggota masyarakat yang menjadi penunjuk jalan. Tim PRA sebaiknya memiliki anggota atau narasumber yang memahami hal-hal yang sudah diperkirakan akan dikaji dalam kegiatan transek ini, terutama masalah-masalah teknis pertanian.

Pelaksanaan

e Sebelum berangkat, bahas kemabali maksud dantjuan kegiatan penelusuran lokasi serta proses kegiatan yang akan dilakukan.
e Sepakati bersama peserta, lokasi-lokasi penting yang akan dikunjungi serta topik-topik kajian yang akan dilakukan.
e Sepakati bersama peserta, lokasi-lokasi penting yang akan dikunjungi serta topik-topik kajian yang akan dilakukan. Setelah itu, sepakati lintasan penelusuran.
e Sepakati titik awal perjalanan (lokasi pertama ), biasanya diambil dari titik terdekat dengan kita berada pada saat itu.
e Lakukan perjalanan dan amati keadaan disepanjang perjalanan. Biarkan petani (masyarakat) menunjukkan hal-hal yang dianggap penting untuk diperlihatkan dan dibahas keadaannya. Didiskusikan keadaan sumber daya tersebut dan amati dengan seksama.
e Buatlah catatan-catatan hasil diskusi di setiap ( tugas anggota tim pra yang menjadi pencatat )

Setelah Perjalanan

Bisa selama berhenti dilokasi tertentu, gambar bagan transek dibuat utnuk setiap bagian lintasan yang sudah ditelusuri. Tetapi, yang sering terjadi adalah pembuatan bagan setelah seluruh lintasan ditelusuri.langkah-langkah kegiatannya adalah sebagai berikut :

e Jelaskan cara dan proses membuat bagan.
e Sepakati lambing atau symbol-simbol yang dipergunakan untuk menggambar bagan transek. Catat simbol-simbol tersebut beserta artinya disudut kertas. Pergunakan spidol berwarna agar jelas dan menarik.
e Mintalah masyarakat untuk menggambarkan bagan transek berdasarkan hasil lintasan yang telah dilakukan. Buatlah dengan bahan atau cara yang mudah diperbaiki atau dihapus karena akan banyak koleksi terjadi.
e Selama penggambaran, tim PRA mendampingi karena pembuatan irisan ini cukup sulit terutama mengenai :
v Pikiran ketinggian (naik-turun permukaan bumi)
v Perkiraan jarak antara satu lokasi drngan lokasi lain.
e Pergunakan hasil gambar transek tersebut untuk mendiskusikan kebih lanjut permasalahan, potensi, serta harapan-harapan masyarakat mengenai semua informasi bahasan.
e Buatlah catatan-catatan hasil diskusi tersebut ( tugas anggota Tim PRA yang menjadi pencatat ).
e Cantumkan nama-nama atau jumlah peserta, pemandu, tanggal dan tempat pelaksanaan diskusi.


Catatan dan Anjuran

WAKTU. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada hari supaya cuaca masih sejuk dan segar karena itu sebaiknya sebelumnya dibuat kesepakatan dengan masyarakat yang harus bekerja ke kebun. Kegiatan ini memerlukan waktu 2-3 jam perjalanan, tergantung panjang lintasan yang ditelusuri, ditambah 2-3 jam pembuatan bagan dan diskusi lanjutan. Karena waktu kegiatan yang cukup panjang, persiapan dan persetujuan dengan masyrakat perlu dilakukan. Bisa juga diskusi dilakukan pada pertemuan berikutnya (tidak langsung) asalkan desepakati oleh masyarakat yang menjadi peserta.

Hujan akan merupakan hambatan yang cukup serius dalam kegiatan teknik penelusuran lokasi ini, oleh karena itu cuaca harus benar-benar diperhatikan sebelum melaksanakan kegiatan penelusuran lokasi ini.

Sumber :

Berbuat bersama, Berperan Serta, Acuan Penerapan Participatory Rural Apraisal, Studio Drya Media, Bandung Untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi, Nusa Tenggara, 1966

Bahan Latihan Pendamping , Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS) Jakarta, 2001

Sabtu, 17 April 2010

pendugaan neraca N pada jagung

pencucian N terbesar terjadi pada sistem monokultur dengan usaha pemupukan. siistem budidaya pagar mampu menurunkan pencucian N sebesar 40 % dari jumlah N tercuci pada isstem monokultur, baik dengan maupun tanpa pemupukan N. pengaruh seperti inilah yang dinamakan 'fungsi jairng penyelamat hara" seperti yang didiskusikan sebelumnya.

jika kita membandingkan jumlah N yang dapat diserap tanaman dengan jumlah N yang tersedia selama musim tanam. maka dapat dilihat bahwa pada sistem monokultur jagung hanya dapat mneyerap sekitar 43% N tersedia jika tanpa pemupukan, dan 36% saja jika diberi pupuk N.


paada sistem budidaya pagar, jagung dapat menyerap sekitar 38% N tersedia jika tanpa pemupukan dan sekitar 32% jika diberi pupuk N. tanamn pagar menyerap 33% N tersedia, baik dengan maupun tanpa pemupukan. Dengan demikian, jumlah total jumlah total yang dapat diserap tanaman meningkat dari 36% (dengan pupuk ) dan 43% (tanpa pupuk) pada sistem monokultur, menjadi 65%(dengan pupuk) dan 70% (tanpa pupuk) pada sistem budidaya pagar. kehilangan unusr hara N melalui pencucian yang dapat diturunkan dengan sisitem budidaya pagar adalah 30-57% jika tanpa pemupukan, dan 35-645 jika diberi pupuk.

Kamis, 15 April 2010

SUBSISTENSI PERTANIAN BERSKALA KECIL « tembok kuning

SUBSISTENSI PERTANIAN BERSKALA KECIL « tembok kuning

Mengoptimalkan Pendayagunaan Potensi Desa

Sebagai suatu negara agraris yang besar, Indonesia memiliki lebih dari 70.000 ribu desa,
yang semuanya memiliki tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi wilayah
pertanian produktif. Potensi yang utama adalah sumberdaya lahan, air, iklim, manusia,
dan sosial budaya.


Patut disyukuri bahwa Indonesia diberkahi dengan lahan yang sangat luas, sekitar 190
juta hektar, dan yang sesuai untuk budidaya pertanian mencapai luas 100,8 juta hektar.
Selain itu, sumberdaya air melimpah ruah terutama di musim hujan, yang seyogyanya
dapat digunakan untuk irigasi pertanian sepanjang tahun, apabila dikelola dengan efisien.
Namun, kenyataan membuktikan bahwa di Pulau Jawa maupun di pulau-pulau di luar
Jawa, masih terdapat desa-desa miskin, yang potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
manusianya masih terpendam, belum didayagunakan secara optimal.


Mayoritas penduduk desa berprofesi sebagai petani dan buruh tani, yang sangat
berpengalaman dan mahir menghasilkan bahan pangan, hortikultura, bahan obat-obatan,
hasil perkebunan, dan sebagainya. Namun sayang sekali, pada umumnya masyarakat tani
tersebut kurang berkembang kesejahteraannya, karena terkendala oleh kondisi sosial
ekonomi yang relatif rendah.


Disamping itu, potensi sumberdaya lahan dan air secara khusus diidentifikasi
dengan survey terpisah oleh para ahli tanah, ahli hidrologi dan ahli klimatologi.

Pada langkah selanjutnmya, data/informasi hasil survei tersebut, ditambah dengan data
dan informasi sekunder yang relevan, kemudian digunakan sebagai bahan dasar untuk
penyusunan Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis atau dapat disebut juga calon
Desa Agroindustri. Dengan demikian, Rancang Bangun memuat berbagai rencana
kegiatan untuk mendayagunakan potensi desa secara optimal, untuk meningkatkan
pendapatan petani, serta melestarikan sistem pertanian dan lingkungan hidup. Rancang
Bangun ini merupakan pedoman bagi para pelaksana Prima Tani, dan juga bagi pelaksana
monitoring dan evaluasi.

Rabu, 14 April 2010

Pertanian Ekologis : Jalan Mengatasi Krisis Pangan dan Tantangan Perubahan Iklim

Pertanian Ekologis : Jalan Mengatasi Krisis Pangan dan Tantangan Perubahan Iklim

KETAHANAN PANGAN DESA

Masyarakat desa sejak lama bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan pangan warganya. Soetardjo Kartohadikoesoemo menjelaskan :
“Desa itu memikul tanggung-djawab atas persediaan makan rakjat. Didesa-desa communaal maka tiap habis panen setahun sekali diadakan rapat-desa. Dalam rapat seringkali djuga dimusjawaratkan tentang pembagian air, tentang memperbaiki saluran air dan jajasan pengairan, tentang mengadakan perwinihan bersama, tentang pemberantasan hama, tentang pembelian rabuk bersama, tentang pembikinan rabuk kompos bersama, tentang mulainja menggarap tanah untuk tanaman padi, tentang penggarapnja tanah jang kosong, tentang pembukaan lumbung desa dan pembajaran pindjaman kepada lumbung desa, tetang penanaman tanggul dan waderan dipinggir djalan desa, tentang tanaman ditegal dan pekarangan, tentang pembelian bibit bersama, tetang tanaman dipagar-desa dan lain-lain sebagainja. (Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Jogjakarta, 1953)



Revolusi hijau ini semakin meningkatkan pemusatan penguasaan lahan pertanian, ketergantungan petani terhadap input pertanian pabrikan, kerusakan lingkungan pertanian, konsumerisme, terpinggirkannya peran petani perempuan, dan hilangnya kemandirian petani. Sistem pertanian rakyat yang telah berkembang sebelumnya yang potensial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani justru diabaikan. Akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber-sumber agraria, pengetahuan dan teknologi lokal, sistem kelembagaan pangan, pengelolaan irigasi, sistem perdagangan lokal, juga sistem pengelolaan cadangan pangan seperti lumbung pangan. Berbagai sub-sistem dalam sistem pangan rakyat bukanya semakin kuat tetapi justru semakin terpinggirkan. Liberalisasi Perdagangan Pangan
Komunitas lokal yang ada di berbagai negara sedang berkembang semakin miskin dan terancam kelaparan sebagai akibat liberalisasi perdagangan. Kebijakan internasional untuk mengatasi persoalan pangan yang dibuat oleh organisasi-organisasi internasional pada umumnya didominasi oleh Negara-negara Utara. Asumsi yang digunakan untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan mengadopsi kebijakan ekonomi neoliberal. Kebijakan ini meletakkan “kekuatan pasar”, “pasar bebas” dan “privatisasi” sebagai panglima dalam pembangunan, termasuk dalam membangun sistem pangan pada tingkat nasional dan internasional.
Liberalisasi perdagangan telah mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan. Bahkan WTO mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini memaksa rakyat untuk memenuhi pangan melalui mekanisme pasar. Perusahaan multi nasional pertanian, lembaga internasional dan negara-negara maju dengan gencar menyatakan bahwa metode bercocok tanam tradisional dengan menggunakan benih lokal tidak efisien dan tidak akan cukup untuk memberi makan penduduk dunia. Perusahaan-perusahaan agribisnis mempromosikan padi hibrida dan transgenik sebagai jawaban terhadap persoalan kelaparan dunia





Empat pilar kedaulatan pangan tersebut adalah:
Menata ulang sumber-sumber produksi pangan. Tanah, hutan, air, benih, kredit, teknologi dan sebagainya perlu ditata ulang pengelolaannya agar keluarga miskin dan kurang pangan dapat mengelolanya secara lebih produktif dan berkelanjutan
Mengembangan pertanian berkelanjutan. Sumber produksi pangan dikelola untuk budidaya aneka tanaman pangan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan serta mengutamakan penggunaan input lokal baik benih, pupuk maupuan bahan pengendali hama dan penyakit tanaman serta dilakukan dengan padat karya;
Pengembangan perdagangan lokal yang adil. Produksi aneka tanaman pangan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sendiri dan komunitas desanya serta sisanya dijual kepada warga desa lain atau warga di sekitar desa dengan cara lebih langsung dan adil antara petani dengan konsumen;
Penguatan pola konsumsi aneka pangan lokal. Kesadaran warga komunitas dan konsumen terhadap produksi aneka pangan lokal selain akan menjamin terpenuhinya kebutuhan makanan sehat dan begizi juga membantu petani untuk mengembangkan usaha taninya dan kesejahteraannya.
Upaya memperjuangkan pembaruan empat pilar itu akan dapat terlaksana jika warga komunitas desa memiliki organisasi yang kuat, yang melibatkan seluruh elemen desa : para petani, kaum perempuan, pedagang, perangkat desa dan lainnya. Melalui organisasi yang kuat ini mereka bersama bersama mengembangkan kebijakan dan program pertanian lokal yang demokratis. Empat pilar kedaulatan pangan tersebut adalah:
Menata ulang sumber-sumber produksi pangan. Tanah, hutan, air, benih, kredit, teknologi dan sebagainya perlu ditata ulang pengelolaannya agar keluarga miskin dan kurang pangan dapat mengelolanya secara lebih produktif dan berkelanjutan
Mengembangan pertanian berkelanjutan. Sumber produksi pangan dikelola untuk budidaya aneka tanaman pangan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan serta mengutamakan penggunaan input lokal baik benih, pupuk maupuan bahan pengendali hama dan penyakit tanaman serta dilakukan dengan padat karya;
Pengembangan perdagangan lokal yang adil. Produksi aneka tanaman pangan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sendiri dan komunitas desanya serta sisanya dijual kepada warga desa lain atau warga di sekitar desa dengan cara lebih langsung dan adil antara petani dengan konsumen;
Penguatan pola konsumsi aneka pangan lokal. Kesadaran warga komunitas dan konsumen terhadap produksi aneka pangan lokal selain akan menjamin terpenuhinya kebutuhan makanan sehat dan begizi juga membantu petani untuk mengembangkan usaha taninya dan kesejahteraannya.
Upaya memperjuangkan pembaruan empat pilar itu akan dapat terlaksana jika warga komunitas desa memiliki organisasi yang kuat, yang melibatkan seluruh elemen desa : para petani, kaum perempuan, pedagang, perangkat desa dan lainnya. Melalui organisasi yang kuat ini mereka bersama bersama mengembangkan kebijakan dan program pertanian lokal yang demokratis.

Kedaulatan Masyarakat Desa Atas Pangan

Kedaulatan Masyarakat Desa Atas Pangan

flemingia macrophylla

Du an bo sua_KTTC

Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian

Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian

Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian

Ketahanan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan kemampuan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dari hari ke hari. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh sebab itu kelancaran distribusi pangan sampai wilayah permukiman serta daya jangkau fisik dan ekonomi rumah tangga terhadap pangan merupakan dua hal yang sama pentingnya. Bagi sekitar 55,6 persen penduduk Indonesia yang bermukim di pedesaan, sebagian besar kebutuhan pangannya dipenuhi dari produksi setempat. Gangguan terhadap kelancaran produksi akan berpotensi memicu kekurangan pangan. Kalaupun kekurangan pangan dapat dipenuhi dari daerah lain, belum tentu masyarakat mampu menjangkaunya mengingat kegagalan produksi berdampak pada penurunan pendapatan.

Pada daerah-daerah tertentu dengan sumber daya alam yang miskin, kerentanan produksi pangan terhadap tekanan iklim seperti kekeringan semakin tinggi. Tekanan yang diakibatkan dari pertambahan penduduk semakin kondusif bagi penurunan kualitas sumber daya alam dan peningkatan kemiskinan. Tanpa upaya-upaya untuk mengoptimalkan kemampuan produksi pangan, maka ketahanan pangan masyarakat di daerah tersebut akan cenderung melemah.Kemiskinan hampir selalu bersamaan dengan ketidaktahanan pangan. Pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin mencapai 48,4 juta jiwa dan 67,6 persen tinggal di pedesaan. Kelompok masyarakat inilah yang rentan terhadap masalah kekurangan pangan pada saat terjadi kekeringan, karena umumnya mereka berhadapan dengan daerah yang memiliki kesuburan rendah/marjinal. Pada saat produksi tanaman pangan utama terhenti, masyarakat daerah marjinal ini pada umumnya mengatasi kelangkaan pangan dengan memanfaatkan umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, talas dan lain-lainnya sebagai sumber karbohidrat dalam pola konsumsi makanan sehari-harinya.

Pada daerah-daerah miskin tersebut peran umbi-umbian sangat signifikan dalam mempertahankan ketahanan pangan masyarakat. Oleh sebab itu upaya untuk menunjang peningkatan produktivitas dan kualitas produk umbi-umbian akan sangat membantu mengatasi masalah pangan pada daerah-daerah tersebut. Keunggulan Umbi-umbianUmbi-umbian yang banyak tumbuh di lahan kering ternyata banyak mempunyai berbagai keunggulan, yaitu,: 1) mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber tenaga, 2) daun ubi kayu dan ubi jalar kaya akan vitamin A dan sumber protein penting, 3) menghasilkan energi yang lebih banyak per hektare dibandingkan beras dan gandum, 4) dapat tumbuh di daerah marjinal di mana tanaman lain tidak bisa tumbuh, 5) sebagai sumber pendapatan petani karena bisa dijual sewaktu-waktu, dan 6) dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati.


Sumber daya hayati umbi-umbian yang beraneka ragam jenisnya di Tanah Air ini belumlah dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kecukupan pangan, khususnya sebagai sumber karbohidrat. Potensi dari komoditas tersebut belum didukung dengan data yang baik kecuali ubi kayu, ubi jalar dan kentang.Produksi rata-rata ubi kayu selama tahun 2001-2003 adalah sebesar 17.279 ribu ton, dan ubi jalar 1.745 ribu ton. Sedangkan kentang 846 ribu ton merupakan rata-rata tahun 2001-2002. Bila dibagi dengan jumlah penduduk tahun 2003 (215 juta jiwa), ketersediaan per kapita per hari masing-masing adalah: ubi kayu 220 g, ubi jalar 23 g, dan kentang 11 g. Setelah memperhitungkan bagian yang dapat dimakan, sebagai sumber karbohidrat bila dibandingkan dengan beras, ketersediaan energi per kapita per hari masih sangat kecil yaitu 18,4 persen pada ubi kayu (279 kkal) dan 1,4 persen pada ubi jalar (22 kkal). Angka ini secara rata-rata nasional memang kecil, tetapi dapat memberi manfaat bagi masyarakat miskin di daerah kering, sebagai sumbangan yang sangat berarti dalam memerangi masalah kekurangan pangan.Selain ubi kayu dan ubi jalar, sebenarnya Indonesia mempunyai banyak umbi-umbian yang lain, seperti talas, uwi, ganyong, dan lain sebagainya, tetapi data luas tanam maupun produksi tidak tersedia. Mengingat banyaknya manfaat dari umbi-umbian ini dalam memperkuat cadangan pangan masyarakat miskin, maka untuk masa mendatang ketersediaan data berbagai komoditas umbi-umbian tersebut perlu disediakan, sebagai dasar untuk merumuskan program pengembangan komoditas yang bersangkutan. Sebagai gambaran kandungan zat gizi per 100 gram bahan sumber karbohidrat dapat dilihat pada tabel.


Sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat pengganti beras, bahan pangan di atas dapat disajikan dalam menu sehari-hari, asalkan diperkaya dengan pangan sumber protein yang tinggi.Dengan berbagai kelebihannya, sudah waktunya kita memberikan perhatian yang lebih besar untuk mendorong peningkatan pemanfaatan umbi-umbian spesifik daerah, melalui upaya: 1) peningkatan produktivitas dengan varietas unggul; 2) peningkatan kualitas dengan menggunakan varietas yang mempunyai kandungan zat gizi yang tinggi; 3) pengembangan teknologi penanganan dan penyimpanan yang tepat guna, sehingga tidak banyak yang rusak atau busuk serta tahan lama; dan 4) pengayaan teknologi pengolahan yang dapat meningkatkan citra dan nilai tambah umbi-umbian agar lebih bergengsi. Dengan produktivitas dan kualitas yang lebih baik, daerah produsen dapat meningkatkan penyediaan pangannya pada waktu-waktu kering, dan mengandalkan kelebihannya sebagai sumber penghasilan. Dengan bantuan teknologi yang dikembangkan dari teknologi lokal, diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah, sehingga kegiatan ekonomi masyarakat miskin menjadi lebih bergairah.Saudara-saudara kita yang telah terbiasa memanfaatkan umbi-umbian khas daerah adalah provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Teng- gara Timur dan Sulawesi Selatan merupakan daerah potensial ubi kayu. Sedangkan Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara merupakan daerah potensial ubi jalar.Di Negara-negara berkembang seperti di Afrika, Asia, Asia Pasifik, Amerika Latin dan Karibia, peranan ubi kayu, kentang, ubi jalar, dan talas memberikan kontribusi yang sangat nyata dalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga di negara bersangkutan, misal- nya di Kongo lebih dari 70 persen asupan kalori per orang per hari berasal dari ubi kayu. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan umbi-umbian adalah produk-produknya yang hingga saat ini cenderung konvensional, dengan kemampuan dan nilai gizi yang kurang menarik.
Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitusi terhadap beras. Untuk meningkatkan nilai tambah dari produk umbi-umbian ini agar bisa sejajar dengan pangan lain, perlu adanya sentuhan teknologi, sehingga menarik untuk disajikan, serta enak, dan ekonomis untuk dikonsum- si. (Oleh DeshalimanPenulis adalah Kepala Sub-Bidang Pangan Nabati, Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian)Sumber:http://www.suarapembaruan.com/News/2003/08/06/index.html
Kamis, 7 Agustus, 2003 oleh: Gsianturi