Jumat, 23 April 2010

MAANFAAT PEKARANGAN

MANFAAT PEKARANGAN
(Kursus Karang Taruna Jebres Surakarta, 17 – 20 Sepetember 1982).

pertanian.uns.ac.id/~agronomi/dashor_link/manfaat_pekarangan.doc

PENDAHULUAN
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”.

Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).

FUNGSI HUBUNGAN SOSIAL BUDAYA

Ditinjau dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh dari fungsi estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa anggota masyarakat pedesaan yang elah “maju”, terlebih pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya dengan tanaman hias dengan dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”, justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama sekali. Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbka atau diberi pinu yang mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi masyarakat umum untuk keluar masuk pekarangannya.
Nampaknya, bagi masyarakat desa, pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum (lurung) antar tetangga, atar kampung, antar dkuh, ahkan antar desa satu dengan yang lainnya.
Di samping itu, pada setiap pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan” (Sunda) yang dapat dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung. Adanya kolam tempat mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga dapat dipergunakan oleh orang-orang sekampung dengan bebas bahkan sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana komunikasi masa (Soemarwoto, 1978).
Jadi, bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah milik pribadi yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di mana anggota masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.

FUNGSI HUBUNGAN EKONM

Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan.
Dari hasil survey pemanfaatan pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro (1978), sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu (Tabel 1): sebagai sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan kerajinan).

Tabel 1. Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani di kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).

No.
Golongan Tanaman
Macam Tanamannya
I

Sumber bahan makanan tambahan :
1. Tanaman karbohdrat

2. Tanaman sayuran
3. Buah-buahan

4. Lain-lain


Ubikayu, ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel, mundu, dll.
Sirih.
II
Tanaman perdagangan
Kelapa, cengkeh, rambutan.
III
Rempah-rempah, obat-obatan.
Jahe, laos, kunir, kencur, dll.
IV
Kayu-kayuan:
1. Kayu bakar
2. Bahan bangunan
3. Bahan kerajinan

Munggur, mahoni, lmtoro.
Jati, sono, bambu, wadang.
Bambu, pandan, dll.
Sumber: Danoesastro, 1978.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka Danoesastro (1977) sampai pada kesimpulan bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana alam yang lain.

FUNGSI HUBUNGAN BIOFISIKA

Pada pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru pertama kali turun masuk desa, akan nampak olehnya sistem pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan segala macam jenis tanaman dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan” karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan manifestasi kemanunggalan manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah diajarkan nenek moyangnya.
Di daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935) disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang besar ..........Semua mempunai tempatna sendiri dari tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.....

Dalam teori kebatinan Jawa, disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya satu dan tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah ternyata, yang secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya proses daur ulang (recycling) secara natural (alami) yang paling efektif dan efisien, sehingga pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat buangan. Apa yang menjadi zat buangan dari suatu proses, merupakan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses berikutnya yang lain. Sebagai contoh, segala macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan menjadi kompos untuk pupuk tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke kolam untuk dimakan ikan. Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan manusia, kotoran manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos, demikian seterusnya tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
Keluarga di atas kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga kelangsungannya.

DAMPAK MODERNISASI YANG MEMPRIHATINKAN

Tetapi sayang, berbaai fungsi dari pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek pembangunan industri dan prasarana lain di desa pinggiran sering kurang memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks perumahan karyawannya yang terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan penhuni asli dan yang dipagar keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi bagi masyarakat penatang dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika pembangunan itu sendiri membutuhkan tanah urug yang harus diambilkan dari tanah lapisan aas (top soil) pekarangan penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak saja menjadi kehilangan “lumbung hidup” atau “pangkalan induknya” karena pekarangan dan tegalannya tidak produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas lingkungannya menjadi rusak karena daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh pembangunan yang kurang bijak, modernisasi perumahan yang mengganti tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.

DAFTAR ACUAN

Danoesastro, Haryono : “Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Maret 1978.
__________________- : Survai Pekarangan Kecamatan Kalasan,kerjasama Fakultas Pertanian UGM dengan Diperta Daerah Istimewa Yagyakarta. 1979.
__________________ : Pemanfaatan Pekarangan. Yayaan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta, 1979.
Hidding, K.A.H. : Gebruiken en Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O : “Pegaruh Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma, N.3 Juli 1975.
_____________ : Ekologi Desa: Lingkungan Hidup dan Kualitas Hdup. Prisma, No. 8, September 1978.
Terra, G.J.A. : Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar