Ketahanan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan kemampuan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dari hari ke hari. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh sebab itu kelancaran distribusi pangan sampai wilayah permukiman serta daya jangkau fisik dan ekonomi rumah tangga terhadap pangan merupakan dua hal yang sama pentingnya. Bagi sekitar 55,6 persen penduduk Indonesia yang bermukim di pedesaan, sebagian besar kebutuhan pangannya dipenuhi dari produksi setempat. Gangguan terhadap kelancaran produksi akan berpotensi memicu kekurangan pangan. Kalaupun kekurangan pangan dapat dipenuhi dari daerah lain, belum tentu masyarakat mampu menjangkaunya mengingat kegagalan produksi berdampak pada penurunan pendapatan.
Pada daerah-daerah tertentu dengan sumber daya alam yang miskin, kerentanan produksi pangan terhadap tekanan iklim seperti kekeringan semakin tinggi. Tekanan yang diakibatkan dari pertambahan penduduk semakin kondusif bagi penurunan kualitas sumber daya alam dan peningkatan kemiskinan. Tanpa upaya-upaya untuk mengoptimalkan kemampuan produksi pangan, maka ketahanan pangan masyarakat di daerah tersebut akan cenderung melemah.Kemiskinan hampir selalu bersamaan dengan ketidaktahanan pangan. Pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin mencapai 48,4 juta jiwa dan 67,6 persen tinggal di pedesaan. Kelompok masyarakat inilah yang rentan terhadap masalah kekurangan pangan pada saat terjadi kekeringan, karena umumnya mereka berhadapan dengan daerah yang memiliki kesuburan rendah/marjinal. Pada saat produksi tanaman pangan utama terhenti, masyarakat daerah marjinal ini pada umumnya mengatasi kelangkaan pangan dengan memanfaatkan umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, talas dan lain-lainnya sebagai sumber karbohidrat dalam pola konsumsi makanan sehari-harinya.
Pada daerah-daerah miskin tersebut peran umbi-umbian sangat signifikan dalam mempertahankan ketahanan pangan masyarakat. Oleh sebab itu upaya untuk menunjang peningkatan produktivitas dan kualitas produk umbi-umbian akan sangat membantu mengatasi masalah pangan pada daerah-daerah tersebut. Keunggulan Umbi-umbianUmbi-umbian yang banyak tumbuh di lahan kering ternyata banyak mempunyai berbagai keunggulan, yaitu,: 1) mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber tenaga, 2) daun ubi kayu dan ubi jalar kaya akan vitamin A dan sumber protein penting, 3) menghasilkan energi yang lebih banyak per hektare dibandingkan beras dan gandum, 4) dapat tumbuh di daerah marjinal di mana tanaman lain tidak bisa tumbuh, 5) sebagai sumber pendapatan petani karena bisa dijual sewaktu-waktu, dan 6) dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati.
Sumber daya hayati umbi-umbian yang beraneka ragam jenisnya di Tanah Air ini belumlah dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kecukupan pangan, khususnya sebagai sumber karbohidrat. Potensi dari komoditas tersebut belum didukung dengan data yang baik kecuali ubi kayu, ubi jalar dan kentang.Produksi rata-rata ubi kayu selama tahun 2001-2003 adalah sebesar 17.279 ribu ton, dan ubi jalar 1.745 ribu ton. Sedangkan kentang 846 ribu ton merupakan rata-rata tahun 2001-2002. Bila dibagi dengan jumlah penduduk tahun 2003 (215 juta jiwa), ketersediaan per kapita per hari masing-masing adalah: ubi kayu 220 g, ubi jalar 23 g, dan kentang 11 g. Setelah memperhitungkan bagian yang dapat dimakan, sebagai sumber karbohidrat bila dibandingkan dengan beras, ketersediaan energi per kapita per hari masih sangat kecil yaitu 18,4 persen pada ubi kayu (279 kkal) dan 1,4 persen pada ubi jalar (22 kkal). Angka ini secara rata-rata nasional memang kecil, tetapi dapat memberi manfaat bagi masyarakat miskin di daerah kering, sebagai sumbangan yang sangat berarti dalam memerangi masalah kekurangan pangan.Selain ubi kayu dan ubi jalar, sebenarnya Indonesia mempunyai banyak umbi-umbian yang lain, seperti talas, uwi, ganyong, dan lain sebagainya, tetapi data luas tanam maupun produksi tidak tersedia. Mengingat banyaknya manfaat dari umbi-umbian ini dalam memperkuat cadangan pangan masyarakat miskin, maka untuk masa mendatang ketersediaan data berbagai komoditas umbi-umbian tersebut perlu disediakan, sebagai dasar untuk merumuskan program pengembangan komoditas yang bersangkutan. Sebagai gambaran kandungan zat gizi per 100 gram bahan sumber karbohidrat dapat dilihat pada tabel.
Sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat pengganti beras, bahan pangan di atas dapat disajikan dalam menu sehari-hari, asalkan diperkaya dengan pangan sumber protein yang tinggi.Dengan berbagai kelebihannya, sudah waktunya kita memberikan perhatian yang lebih besar untuk mendorong peningkatan pemanfaatan umbi-umbian spesifik daerah, melalui upaya: 1) peningkatan produktivitas dengan varietas unggul; 2) peningkatan kualitas dengan menggunakan varietas yang mempunyai kandungan zat gizi yang tinggi; 3) pengembangan teknologi penanganan dan penyimpanan yang tepat guna, sehingga tidak banyak yang rusak atau busuk serta tahan lama; dan 4) pengayaan teknologi pengolahan yang dapat meningkatkan citra dan nilai tambah umbi-umbian agar lebih bergengsi. Dengan produktivitas dan kualitas yang lebih baik, daerah produsen dapat meningkatkan penyediaan pangannya pada waktu-waktu kering, dan mengandalkan kelebihannya sebagai sumber penghasilan. Dengan bantuan teknologi yang dikembangkan dari teknologi lokal, diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah, sehingga kegiatan ekonomi masyarakat miskin menjadi lebih bergairah.Saudara-saudara kita yang telah terbiasa memanfaatkan umbi-umbian khas daerah adalah provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Teng- gara Timur dan Sulawesi Selatan merupakan daerah potensial ubi kayu. Sedangkan Provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara merupakan daerah potensial ubi jalar.Di Negara-negara berkembang seperti di Afrika, Asia, Asia Pasifik, Amerika Latin dan Karibia, peranan ubi kayu, kentang, ubi jalar, dan talas memberikan kontribusi yang sangat nyata dalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga di negara bersangkutan, misal- nya di Kongo lebih dari 70 persen asupan kalori per orang per hari berasal dari ubi kayu. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan umbi-umbian adalah produk-produknya yang hingga saat ini cenderung konvensional, dengan kemampuan dan nilai gizi yang kurang menarik.
Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitusi terhadap beras. Untuk meningkatkan nilai tambah dari produk umbi-umbian ini agar bisa sejajar dengan pangan lain, perlu adanya sentuhan teknologi, sehingga menarik untuk disajikan, serta enak, dan ekonomis untuk dikonsum- si. (Oleh DeshalimanPenulis adalah Kepala Sub-Bidang Pangan Nabati, Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian)Sumber:http://www.suarapembaruan.com/News/2003/08/06/index.html
Kamis, 7 Agustus, 2003 oleh: Gsianturi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar