Sunday, 05 July 2009 17:44
Lahan yang makin menyempit tak hanya terjadi di sawah, kebun, atau ladang, tetapi juga di pekarangan, lahan yang langsung berdampingan dengan rumah. Fragmentasi lahan menjadikan pekarangan yang merupakan pertahanan pangan terakhir itu nyaris hilang. Kasus kurang gizi sangat boleh jadi akibat dari keadaan ini.
Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah di Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya. Sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, tetapi tidak mudah diterapkan. Di depan rumah bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga.
Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga.
Di sebuah rumah di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sebuah keluarga masih bisa memanen berbagai tanaman dan hewan dari pekarangan. Di pekarangan ada ubi, pepaya, lele, sapi, dan lebah madu. Tidak jauh dari rumahnya tersedia sawah yang memasok beras. Setidaknya gambaran seperti ini bisa mewakili profil pekarangan.
Gambaran pekarangan ini memang lebih sederhana dibandingkan dengan pekarangan pada masa lalu yang lebih komplet, yang di dalamnya ada tanaman obat-obatan, pohon bambu, pohon kelapa, pohon jati, dan lain-lain. Tanaman obat-obatan menjadi apotek hidup sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka dengan mudah mendapat obatnya.
”Saat ini keanekaragaman hayati pekarangan memang menurun. Peran pekarangan sebagai penopang ekonomi lebih menonjol ketimbang sebagai sumber gizi keluarga. Eksploitasi pekarangan meningkat. Mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Kepala Pusat Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga peneliti pekarangan, Antonius Budisusila.
Pada masa lalu, pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri.
Munculnya pekarangan dalam sistem pertanian di Nusantara tidak mudah didapat. Meski demikian, di dalam tulisan The Javanese Homegarden yang termuat di Journal for Farming Systems Research (1992) Otto Soemarwoto dan GR Conway yang mengutip artikel Terra (1954) menyebutkan, berdasarkan sumber tertulis, pekarangan sudah ada pada 860 Masehi. Meski demikian, pekarangan di Nusantara diperkirakan sudah lama ada. Terra menduga Jawa Tengah merupakan tempat asal usul pekarangan.
Akan tetapi, dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) memperlihatkan pelaut-pelaut Portugis yang membuat permukiman di sejumlah tempat juga menanami permukiman atau benteng sekitar dengan berbagai tanaman untuk bertahan hidup. Penulis buku itu, Paramita R Abdurachman, menyebutkan, kedatangan Portugis pada abad ke-16 menjadikan pekarangan penduduk pribumi mulai diolah dan ditanami bunga.
Fakta-fakta di atas sepertinya tidak perlu dipertentangkan, tetapi lebih dilihat sebagai saling melengkapi. Kemungkinan pekarangan memang sudah ada sebelum Portugis datang, tetapi kedatangan Portugis melengkapi tanaman di pekarangan, seperti bunga yang disebut di atas. Kedatangan bangsa lain pun, seperti Belanda, diperkirakan juga melengkapi tanaman dan juga hewan di pekarangan.
Penelitian mengenai pekarangan sudah banyak dilakukan. Sejak zaman kolonial, para peneliti sudah meminati meneliti pekarangan. Dalam History of Java (1817), Raffles menyebutkan, setidaknya terdapat 10 persen pekarangan dari luas areal pertanian yang ada.
Pada tahun 1937 publikasi yang dikeluarkan oleh Ochse memperlihatkan ada hubungan yang kuat antara kualitas pekarangan dan status gizi rumah tangga. Penelitian sebelumnya bersama Terra di Kutowinangun, Kabupaten Purworejo, menunjukkan, sebesar 18 persen asupan kalori dan 14 persen asupan protein penduduk setempat berasal dari pekarangan.
Isi pekarangan juga bermacam-macam hewan dan tanaman. Ada penelitian yang menarik, secara umum ciri pekarangan di Jateng selalu ada tanaman obat. Hal ini terkait dengan kebiasaan orang Jawa yang suka minum jamu. Di Jawa Barat pekarangan dicirikan dengan tanaman sayuran karena orang Sunda suka dengan lalapan.
Ada juga yang meneliti pekarangan dari sisi antropologi. Penny dan Ginting (1984) menyebutkan, secara umum pekarangan diurus oleh perempuan sehingga pekarangan mudah didapat di daerah yang memiliki pola kekerabatan matriarkal di Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Pekarangan sulit didapat di daerah dengan kekerabatan patriarkal seperti di Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.
Komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga. Hasil dari pekarangan tidak sedikit dibagikan kepada tetangga sekitar. Meski demikian, pembagian ini ada juga yang mengandung unsur mistis terkait dengan menghilangkan bahaya atau mengobati penyakit.
Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Otto Soemarwoto dan GR Conway itu memperlihatkan perubahan-perubahan stabilitas pekarangan pada masa tertentu. Pada kondisi produksi padi menurun atau terjadi paceklik, makanan pokok sekunder, seperti ubi, diambil dari pekarangan. Penjualan bambu dan kelapa yang dipanen dari pekarangan juga meningkat ketika terjadi paceklik. Pemanenan hasil pekarangan juga menunjukkan peningkatan menjelang Idul Fitri pada saat keluarga membutuhkan uang tunai.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Orde Baru mulai bergerak tahun 1969 dengan rencana pembangunan jangka panjang, terdapat sejumlah kelas menengah dan atas yang membutuhkan gizi yang baik. Ini dipenuhi petani dengan memproduksi komoditas-komoditas yang laku di pasar. Akibatnya, terjadi perubahan jenis komoditas yang ditanam di pekarangan secara drastis. Kecenderungan monokultur mengakibatkan masuknya berbagai penyakit. Akibatnya, bisa dilihat hingga sekarang, sejumlah sentra pertanian bertumbangan dan sulit untuk bangkit.
Sementara itu, Budisusila melihat pekarangan muncul ketika pasar dan negara (dan juga kerajaan pada masa lalu) tidak memikirkan pangan rakyat. Rakyat mampu secara mandiri memikirkan ketahanan pangan mereka.
”Pasar dan negara sudah terbukti sejak masa lalu hingga hari ini bukan institusi yang baik yang memikirkan ketahanan pangan rakyat. Rakyat mempunyai inisiatif sendiri yang serius melalui pekarangan,” katanya. Ia juga menyebutkan, pada masa penjajahan Belanda pekarangan mampu menjadi penopang kebutuhan pangan rakyat.
Ideologi kemandirian pangan sebenarnya sudah ada sejak lama di tingkat rakyat. Rakyat mempunyai otoritas untuk memperjuangkan kemandirian pangan, setidaknya melalui pekarangan. Dalam hal ini mestinya negara mendukung, tetapi ada ketidakrelaan negara kalau rakyat mempunyai inisiatif yang kuat sehingga tanpa disadari kemandirian itu terkikis. Di sisi lain ada kepentingan agar kemandirian dirusak karena kalau kemandirian itu kokoh, pelaku pasar alias kekuatan modal tak mampu menawarkan sesuatu kepada masyarakat (konsumen).
Di samping itu, Budisusila melihat pekarangan merupakan cermin kebudayaan rakyat dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek ketahanan pangan, ekonomi, artistik, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin terjadi dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Kompas, 1 September 2008. Ditulis oleh Andreas Maryoto
http://www.bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=178:pekarangan-pertahanan-pangan-yang-hilang&catid=42:artikel&Itemid=84 23 april 2010
Jumat, 23 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar